Senin, 25 Februari 2013

Skinhead Sebuah Jalan Hidup




BAB I: Rude Boy Jamaika, Akar Budaya Skinhead

Sejarah dan akar budaya Skinhead sebenarnya di rintis jauh di luar Inggris, tepatnya di Jamaika, sebuah negara pulau di laut Karibia. Satu hal yang sangat penting dan perlu diketahui bahwa perkembangan budaya Skinhead tidak bisa dipisahkan dari perkembangan musik ska, dan budaya orang-orang kulit hitam di Jamaika pada umumnya.
Saat itu tgl 5 agustus 1962, saat Inggris memberi kemerdekaan pada Jamaika setelah selama 300 tahun di jajah oleh negara Ratu Elizabeth II itu. Berbarengan dengan perayaan kemerdekaan Jamaika itu muncul sebuah jenis musik baru yang disebut Ska. Ska sendiri sebenarnya sudah dirintis perkembangannya semenjak di era 50-an dulu, karena itu ada baiknya kita flash back ke era itu.
Tahun 50-an adalah masa di mulainya era musik modern Jamaika, era itu di mulai dengan sebuah budaya yang sangat unik dan hanya ada di Jamaika sampai saat ini, yaitu era Sound System. Di namakan era sound system karena satu-satu nya jalan bagi kalangan kelas bawah yang merupakan mayoritas di sana untuk mendengarkan musik saat itu adalah melalui sound system. Caranya adalah dengan memutar piringan hitam musik Jazz, Motown Soul dan RnB Amerika di seperangkat alat pemutar piringan hitam dan untuk pengeras suaranya dipakai seperangkat pengeras suara / sound system. Biasanya hal itu di lakukan di pesta-pesta yang di gelar di jalanan, jadi benar-benar musik jalanan untuk kaum bawah yang haus hiburan tapi tidak bisa datang ke klub-klub malam yang mahal dan mewah atau pergi liburan ke tempat-tempat wisata seperti Miami, pokoknya benar-benar lower class entertainment.
Tetapi bukan berarti permintaan akan LIVE musik tidak ada. Pada mulanya para musisi Jamaika hanya memainkan lagu-lagu Jazz dan RnB seperti Fat Domino, Louis Jordan dan Ray Charles, sampai akhirya mereka merasa perlu untuk membuat lagu sendiri dengan cara meniru gaya bermusik artis RnB di Amerika, terutama gaya bermusik Boogie Rock ala New Orleans. Namun, pada kenyataannya para musisi seperti Laurel Aitken dan Skatalites gagal meniru gaya yang seperti itu, yang terjadi adalah mereka malah menciptakan gaya musik baru yang merupakan penggabungan dari musik Jazz dan RnB Amerika dengan musik traditional Jamaika yaitu Calypso dan Mento, dan hasilnya adalah sebuah formulasi musik yang di kenal sebagai ska.
Era ska berlangsung dari tahun 1962 sampai tahun 1966 saat ska berubah tempo-nya menjadi sedikit lebih lambat dan nge-Soul, tempo dan gaya ini di sebut Rocksteady, nah…. Rocksteady inilah yang kemudian berevolusi lagi menjadi musik yang saat ini di kenal dunia sebagai Reggae. Satu hal yang sangat penting dari era ska di Jamaika yang erat hubunganya dengan sejarah budaya Skinhead adalah kemunculan para Rude boy.
Para Rudeboy ini adalah anak-anak muda yang terpikat dengan segala janji-janji muluk tentang kemakmuran setelah kemerdekaan Jamaika. Mereka berurbanisasi secara besar-besaran dari kota-kota seperti Negril dan Port Royal ke Kingston town, ibu kota Jamaika dengan harapan bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Namun akibat dari skill dan pendidikan mereka yang rendah serta langkanya lapangan pekerjaan di Kingston membuat mereka menjadi pengangguran dan akhirnya terpaksa bertahan hidup dengan menjadi preman jalanan, sebagian besar bahkan terlibat dalam kejahatan terorganisasi.
Mereka terpaksa tinggal di daerah-daerah kumuh seperti Orange Street dan Trench Town yang sarat dengan permasalahan sosial seperti perdagangan ganja dan perkelahian antar gank.        Kehidupan keras inilah yang membuat mereka menjadi kasar dan tangguh (rough & tough), serta terbiasa dengan kekerasan dan kejahatan, dari sinilah muncul istilah “Rude boy” yang kira-kira artinya adalah “Preman Jalanan”. Rude boy itu tangguh seperti seekor singa dan kuat seperti baja, begitulah kata Derrick Morgan dalam lagu Rougher than Rough….., mereka berkeliaran di jalan-jalan kota Kingston dengan pistol ataupun belati di balik setelan jasnya. Pandangan akan preman jalanan dan penjahat inilah yang menjadikan mereka sebagai kaum yang di tolak keberadaannya oleh masyarakat. Rude boy inilah para fans musik ska saat itu, hal ini mungkin di karenakan ska yang musisinya berasal dari ghetto (daerah kumuh) sama seperti mereka, sehingga ska identik dengan pemberontakan dan di beri label musik kelas bawah.
Hal lain yang sangat menonjol dari para Rude boy ini adalah gaya mereka yg cool, cara berpakaian mereka yang necis, rapi dan elegan. Setiap uang yang mereka hasilkan pastilah di habiskan untuk membeli setelan jas, sepasang sepatu kulit warna hitam yang di semir mengkilat, topi pork pie dan kaca mata hitam, benar-benar sebuah anti tesis terhadap latar belakang mereka yang berasal dari kelas bawah yang miskin.
Tahun 1966 berbarengan dengan berubahnya ska menjadi rocksteady dan keadaan ekonomi Jamaika yang semakin terpuruk, kekerasan dan kejahatan yang di lakukan para Rude boy semakin menjadi-jadi, hal ini semakin di perparah dengan adanya campur tangan dari para politisi yang memakai mereka sebagai body guard untuk menjalankan kepentingan politiknya. Akibatnya pertarungan antar gank Rude boy semakin sering terjadi, masing-masing mati-matian membela teritorial dan kepentingan politik tuannya, korbanpun berjatuhan, Kingston pun menjadi medan perang. Opini publik pun langsung menghakimi para Rude boy dan meyerukan pelucutan senjata dan penangkapan para Rude boy secara besar-besaran.
Akibatnya tak sedikit dari mereka yang di jebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan yang benar, dan yang lebih menyakitkan para politisi yang mereka bela sama sekali tidak membela mereka, bahkan malah memojokkan mereka. Politik dan segala tipu dayanya memang tidak ada untungnya bagi budaya apapun. Para musisi ska yang mempunyai hubungan erat dengan para Rude boy segera merespon hal ini, mereka menciptakan lagu-lagu yang membela para Rude boy, namun sekaligus melakukan penyadaran terhadap mereka melalui lirik lagu mereka seperti 007 shanty town ( Desmond Dekker), Too hot (Prince Buster), Rougher than rough (Derrick morgan), Cry though ( Alton ellis), serta yang paling legendaris Rudy, a message to you (Dandy livingstone) yang kelak di populerkan kembali oleh The Specials.
Keadaan Jamaika yang semakin morat marit membuat sebagian penduduknya berimigrasi ke Inggris, tentunya dengan harapan akan penghidupan yang lebih layak.
Para imigran inilah yang membawa budaya kulit hitam Jamaika terutama musik Ska/ Rocksteady/Reggae ke negeri berbendera Union Jack tersebut. Di antara mereka bahkan ada beberapa musisi kenamaan Jamaika seperti Laurel Aitken yang kelak di sebut-sebut sebagai The God Father of Ska dan Rico Rodrigues seorang pemain trombone yang pernah bergabung dengan band ska pertama di dunia The Skatalites, dan tentunya beberapa Rude boy pun ikut dalam gelombang imigrasi ini, di sinilah mereka bertemu dengan budaya anak muda kulit putih Inggris yang menamakan dirinya Mods…., and the story continues…



BAB II: Mods Inggris, Cikal Bakal Budaya Skinhead

Anak-anak muda yang menamakan diri mereka Mods muncul di Inggris untuk pertama kalinya di akhir tahun 50-an. Nama budaya mereka yang merupakan singkatan dari “modernisme” di ambil dari penolakan mereka atas Tradisional Jazz yang melanda Inggris beberapa saat sebelum era The Beatles. Mods pada awalnya adalah fans berat musik Modern Jazz seperti Dave Bruebeck, hal itu tidaklah berlangsung lama sampai akhirnya mereka jatuh cinta pada Black music dari Amerika seperti Northern Soul, RnB, dan tentunya musik Ska Jamaika. Budaya ini juga di kenal sebagai pihak yang membidani lahirnya “Garage band” yang paling berpengaruh di abad 20, yaitu The Who dan The Small Faces. Seperti halnya budaya anak muda lainnya Mods pun mempunyai cara berpakaian tersendiri, malahan hal itu adalah hal yang terpenting bagi mereka.
Layaknya para Rude boy di Jamaika, para Mods ini berpakaian sangat rapi dan necis, setelan jas buatan Italia, sepasang sepatu brogues, parka (semacam mantel untuk berkendaraan) dan yang terpenting dari semuanya, Scooter (biasanya bermerek Lambretta). Mereka biasanya nongkrong di kafe-kafe atau coffee shop seputaran London, tentunya sambil mendengarkan Soul, RnB, dan Ska. Satu hal yang paling penting di ingat di sini bahwa Mods sangat-sangat mengejar Fesyen terutama merk-merk tertentu seperti kemeja Jaytex, hal itu karena ide dasar dari Mods adalah bagaimana caranya untuk terlihat lebih cool dan bergaya ketimbang orang-orang normal, bergaya seperti seorang pekerja mapan walaupun kenyataanya mereka masih sekolah.
Pada awalnya anak-anak muda yang mengadopsi Mods sebagai identitas diri sangatlah sedikit, tapi memasuki tahun 1962 budaya ini semakin banyak pengikutnya, walaupun belum sampai pada taraf trend atau mewabah. Tapi di balik penampilan mereka yang cenderung terlihat seperti kelas menengah, sebenarnya Mods adalah murni budaya kelas pekerja. Hal yang membuat para Mods berpenampilan seperti itu adalah karena budaya mereka sebenarnya merupakan sebuah kontra budaya terhadap Teddy Boys/ greasers/rockers yang muncul beberapa dekade sebelumnya. Semua hal dari pakaian, musik yang di dengarkan, kendaraan sampai cara berpikir Mods adalah kebalikan 180 derajat dari para rockers. Mods tampak necis dengan setelan jas buatan italianya, sedangkan Rockers tampil gahar dengan celana kulit dan jaket kulitnya, Mods mendengarkan Soul, RnB dan Ska, sedangkan Rockers mendengarkan Rock N’ Roll, Mods berkeliaran di jalan-jalan dengan scooter Lambrettanya, sedangkan Rockers dengan motor Harley Davidsonnya, dan masih segudang hal bertentangan lainnya. 

Pertentangan ini membuat mereka membenci satu sama lain, tak jarang hal itu mengakibatkan perkelahian di antara mereka. Yang paling legendaris adalah perkelahian di Bank Holiday (semacam liburan musim panas) di tepi pantai Brighton tahun 1964.
Hal itulah yang membentuk opini publik yang buruk terhadap mereka, layaknya Rude boy di Jamaika, Mods di anggap sebagai berandalan, kaum yang di tolak keberadaanya oleh masyarakat.
Sejak pasca PD II telah terjadi imigrasi penduduk Jamaika ke Inggris, hal ini terjadi gelombang demi gelombang dan mencapai puncaknya antara tahun 1964 – 1966. Para imigran kulit hitam ini tinggal di daerah-daerah tempat kelas pekerja Inggris tinggal, di sinilah terjadi interaksi budaya antara Mods dan anak2 muda imigran Jamaika. Fenomena Rude Boy yang terjadi di Jamaika ternyata dengan cepat menyebar di antara anak-anak muda imigran Jamaika kelahiran Inggris, di tambah datangnya beberapa orang Rude boy “asli” kingston di lingkungan mereka. Dengan cepat mereka mengadopsi cara berpakaian Rude boy di Kingston dan mendengarkan musik yang saat itu sedang hits di Jamaika seperti Prince Buster dan Alton Ellis.
 Gaya Rude boy ini segera saja mewabah pula di kalangan Mods, ketertarikan mereka terhadap musik Jamaika yang sudah ada sejak awal perkembangan budaya ini pun menjadi semakin besar, bahkan Pork Pie Hat ala Prince Buster pun menjadi asesoris wajib. Ska tiba-tiba saja menjadi musik utama para Mods, kepopuleran Prince Buster di kalangan Mods tiba-tiba saja mengalahkan artis-artis motown seperti Martha Reeves and The Vandelas ataupun Marvin Gaye. Dan yang terpenting kini mereka punya sekutu baru dalam melawan Rockers, para anak muda imigran kulit hitam asal Jamaika, ya…. Para “UK based Rude boy”.              Di tahun 1967 budaya Mods semakin mewabah di Inggris, sampai-sampai lagu Prince Buster berjudul “Al Capone” mencapai nomor 18 di tangga lagu nasional Inggris, padahal hanya para Mods lah yang mendengarkannya. Mewabahnya Mods membuat budaya ini mulai kehilangan esensi dan pemikiran dasarnya. Mods yang pada awalnya adalah murni budaya kelas pekerja kini mulai tercemar dengan masuknya anak-anak kelas menengah bahkan kelas atas yang sebenarnya hanya tertarik dgn fesyen Mods tanpa tahu dasar pemikiran budaya ini. Tiba-tiba saja Mods hanyalah tentang pakaian bagus dan mahal, bahkan seorang Mods yang tidak berpakaian seperti itu pasti akan di tertawakan dan tak akan di terima oleh Mods lainnya. Hal ini tentu saja tak masalah bagi mereka anak-anak kelas menengah yang orang tuanya kaya raya, tapi masalah besar bagi anak-anak kelas pekerja. Bayangkan….. uang saku mereka hanyalah 10 pound perminggu, sedangkan harga pakaian yang “ di anggap” sebagai pakaian Mods yang benar saat itu adalah 15 pound….!!!
Pada akhirnya apapun di dunia ini adalah tentang kelas, hal itu pulalah yang terjadi pada Mods. Pembagianpun segera terjadi, Mods kelas menengah di satu sisi, dan Mods kelas pekerja di sisi lainnya. Para Mods kelas pekerja ini menolak cara berpakaian mewah ala para Mods kelas menengah, terlebih lagi di antara anak-anak kelas menengah itu mulai berjangkit pola pikir “generasi Bunga / hippies”. Mods kelas pekerja ini tiba-tiba saja menjadi kontra budaya terhadap Mods kelas menengah. Cara berpakaian mereka berubah menjadi lebih “Hard”. Setelan jas buatan Italia di gantikan dengan kemeja Ben Sherman, kaos polo Fred Perry, jaket Denim / jaket Bomber (penerbang) dan celana jeans Levi’s 501, dan yang cukup ekstrim : rambut klimis mereka di cukur semakin pendek (hampir botak) dan sepatu kulit yang mewah dan mengkilat di gantikan dengan Boots yang biasa di pakai pekerja industri logam atau pekerja tambang.
Cara berpikir dan tingkah laku mereka pun semakin jauh berbeda dengan “Mods tradisional”. Anak-anak kelas pekerja ini lebih agresif, lebih suka melakukan kekerasan dan lebih provokatif terhadap musuhnya para Rockers, karenanya mereka mendapatkan julukan baru : Hard Mods.
Pada akhir tahun 1968 para Mods Tradisional yang kebanyakan adalah anak kelas menengah masuk ke kuliah-kuliah seni, sebuah hal yang mustahil di dapat para Hard Mods. Hari-hari di kampus kuliah seni inilah yang membuat para Tradisional Mods ini akrab dengan Pop Art, musik Rock Kontemporer ala The Cream, dan yang paling esensial Pola Pikir Hippie yang semakin melekat di otak mereka dari hari ke hari, ya…. Mods kelas menengah berevolusi menjadi Hippies, dan menyerahkan jalan-jalan kosong di se-antero Inggris kepada sekelompok anak muda tangguh yang kelak di namakan Skinhead.




BAB III: Lahirnya Budaya Skinhead

Pada dasarnya Skinhead adalah gelombang baru dari budaya Mods yang sudah berkembang beberapa tahun sebelumnya. Pada awalnya mereka di sebut sebagai Hard Mods, sebuah sebutan yang mengacu pada dandanan, tingkah laku dan pola pikir mereka yang lebih keras dari pada Tradisional Mods. Para Skinhead ini lebih terkesan berandalan dari para pendahulunya, mereka lebih sering melakukan kekerasan, sebuah prilaku alami dari anak-anak kelas pekerja yang tak puas dengan kenyataan hidupnya. Satu hal yang perlu di ingat di sini bahwa sebenarnya kemunculan para Skinhead ini adalah sebuah penolakan terhadap cara berpikir Mods yang saat itu mulai kehilangan esensinya (Sebagian besar para Mods saat itu menjadi Hippies). Mereka adalah orang-orang yang menolak cara berpakaian Tradisional Mods yang saat itu sangatlah mahal dan tidak bisa di beli oleh anak-anak kelas pekerja seperti mereka.
                Namun layaknya Mods, Skinhead pun sangat menghormati cara berpakaian yang necis dan rapih. Bedanya dengan Mods ide dasar dari fesyen Skinhead adalah bagaimana caranya agar terlihat rapi, necis, elegan, namun pada saat yang sama juga terlihat keras, gahar, dan berandalan. Hasilnya adalah sebuah dandanan yang benar-benar berbeda dengan para Mods, setelan jas mahal di tinggalkan, sebagai gantinya mereka memilih kaus kerah Fred Perry, kemeja Ben Sherman, Levi’s Staprest ataupun Levi’s Jeans 501. Sebagai pelengkap adalah bretel untuk menahan celana agar tetap berada di atas pinggul, lalu jaket Harrington, jaket jeans, jaket Bomber atau Crombie (sejenis jas panjang). Sepatu dansa digantikan dengan Industrial Boots, sebelum akhirnya Boots bermerk Dr Martens keluar di pasaran, dan menjadi pilihan yang lebih populer. Potongan rambut pun semakin hari di cukur semakin pendek, dalam beberapa kasus bahkan hampir botak sehingga orang-orang bisa melihat kulit kepala mereka di sela-sela rambut mereka yang sangat pendek, dari sinilah muncul sebutan ‘Skinhead’. 

Begitu pula dengan para wanitanya, potongan rambut merekapun sangatlah pendek, sebutan bagi potongan rambut seperti ini adalah Feather cut (sangat pendek pada bagian atasnya namun di biarkan tetap panjang pada bagian samping dan biasanya berponi pada bagian depannnya). Sebagai kendaraan, Scooter tetaplah populer layaknya di kalangan Tradisional Mods, namun kini hal itu bukanlah lagi sebuah keharusan, bagi Skinhead scooter hanyalah sebagai kendaraan untuk bepergian bukan sebuah benda untuk di pamerkan pada teman-teman mereka, seperti di kalangan Mods. (jadi, punya bagus, tidak punya ya tidak apa-apa). Pakaian-pakaian itu menjadi pilihan mereka karena semua barang tersebut harganya murah dan terjangkau oleh kantong anak-anak kelas pekerja saat itu. 

Hal lain yang menjadi alasan pemilihan pakaian tersebut adalah karena semua pakaian itu lebih cocok sebagai “seragam dinas perkelahian di jalanan” ketimbang setelan jas ala Tradisional Mods, walaupun sepatu dansa dan setelan jas tetap di pakai dalam beberapa kesempatan. Layaknya Rude boy di Jamaika, kekerasan pun adalah hal yang sangat identik dengan budaya Skinhead. Perkelahian jugalah yang menjadi alasan kenapa Boots menjadi pilihan, terutama yang di lapisi baja pada ujungnya (Steel Toe), sehingga bisa dijadikan senjata untuk mencederai lawan. Begitu jugalah alasan kenapa potongan rambut “hampir botak” menjadi pilihan mereka, yaitu agar rambut itu tak bisa di jambak saat bekelahi dengan musuh, dan di era itu biasanya para laki-laki memelihara cambang, itu jugalah yang di lakukan para Skinhead ini.
Perkelahian inilah yang membuat reputasi mereka buruk di kalangan masyarakat umum, Skinhead adalah berandalan jalanan yang di tolak keberadaannya oleh masyarakat.
Pada akhir tahun 1968 jumlah para Hard Mods semakin banyak, seiring semakin banyaknya anak-anak muda kelas pekerja yang menolak pola pikir Mods tradisional. Gank-gank Hard Mods pun bermunculan di kota-kota seperti London, Birmingham, Liverpool, New Castle dan Glasgow ( Gang nya yang bernama Glasgow Spy Kids sangat terkenal hingga hari ini akan reputasi kekerasannya ). Pada awalnya sebutan bagi mereka berbeda-beda di setiap kota, yang paling umum adalah Clean Heads, Shave Heads, Spy kids dan Peanuts (mengacu pada bunyi scooter yang di kendarai mereka).
Di tahun 1969 penolakan terhadap budaya Mods kelas menengah yang saat itu sudah tercemar pola pikir generasi bungapun semakin menjadi-jadi, pemisahan antara tradisional Mods yang telah berevolusi jadi Hippies dan Hard Mods / Skinhead pun tak terhindarkan lagi. Para Hippies yang rata-rata kelas menengah inilah yang menjadi musuh utama para Skinhead. Perkelahian yang berujung pada kekerasan ini terjadi di setiap kesempatan mereka bertemu, namun yang paling besar terjadi di Bank Holiday tahun 1968 dan 1969, di sinilah Skinhead menjadi perhatian media untuk pertama kalinya.
Satu hal lagi yang membentuk budaya Skinhead adalah kerusuhan yang terjadi di teras sepak bola. Inggris memang adalah sebuah negara dengan budaya sepak bola yang kuat mengakar. Semenjak kemenangan Inggris di Piala Dunia tahun 1966 sepak bola menjadi semakin menarik perhatian anak-anak muda Inggris saat itu. Tradisi menonton sepak bola di akhir pekan bersama para Ayah sedikit demi sedikit mulai menghilang, seiring dengan pekerjaan paruh waktu yang banyak di lakukan anak-anak kelas pekerja saat itu yang membuat mereka mempunyai uang sendiri untuk membeli tiket masuk ke petandingan sepak bola. Kekerasan dan Hooliganisme memang sudah membudaya di dunia persepak bolaan Inggris selama berabad-abad sebelumnya, namun memasuki era 60-an hal itu semakin terorganisasi. Para hooligans ini kebanyakan adalah para Hard Mods yang tampil gahar dengan jeans dan sepatu boots seperti yang di paparkan di atas. Hooliganisme terorganisasi atau lebih di kenal dengan sebutan ‘Firm/Mobs’ ini semakin mewabah di musim kompetisi 1968 – 1969. Saat itu hampir semua tim wilayah selatan dan utara Inggris mempunyai gank hooligan yang semua anggotanya adalah Skinhead. Mereka biasanya membuat kerusuhan tak hanya di luar lapangan, tapi juga di dalam lapangan, berkelahi dengan suporter lawan dan tentunya dengan polisi.
Dalam waktu singkat media seperti The Sunday Mirror, Suns dan The Football mail mengasosiasikan Skinhead dengan kerusuhan tersebut. Pada awalnya berita tersebut biasa-biasa saja namun lama kelamaan pemberitaan itu semakin berlebihan dan berat sebelah, menempatkan Skinhead sebagai terdakwa tunggal bahkan jika kerusuhan tersebut bukan terjadi karena ulah mereka. Perkelahian dan kerusuhan terjadi hampir di tiap pertandingan, terutama di wilayah utara di mana sepak bola dan budaya Gank suporternya lebih populer ketimbang berdansa di club malam seperti di selatan Inggris.
Perkelahian yang semakin sering terjadi membuat para Skinhead merasa perlu untuk mempersenjatai diri. Boots kini di rasa tak lagi cukup, kini mereka mempersenjatai diri dengan pisau belati atau pisau lipat yang biasa di gunakan untuk mencukur rambut (Razor). Senjata tersebut bahkan kemudian di gunakan dalam perkelahian melawan Hippes, Rockers, Greaser, dan Hell Angels. Skinhead kini semakin identik dengan kenakalan remaja bahkan kekerasan dan kejahatan serius, hal itu membuat mereka di waspadai keberedaanya oleh masyarakat terutama polisi. Berkelahi di jalanan, membuat rusuh di teras sepak bola, memukuli Hippies, (bahkan) Mods di Bank Holiday, ya… budaya baru ini benar-benar identik dengan kekerasan.
Hal berikutnya yang membentuk budaya Skinhead yang berasal dari budaya Mods dan akan di pegang teguh oleh para Skinhead sampai kapanpun adalah kecintaan mereka kepada musik kulit hitam sperti RnB, Soul (keluaran Tamla, Stax dan Motown ) dan musik Ska / Reggae asal Jamaika. Yang membedakan Skinhead dengan Mods dalam hal musik yang di dengarkan adalah: Mods memang sangat menyukai Soul dan Ska (mereka menyebutnya Bluebeat, nama label yang merilis Prince Buster di Inggris ), namun hasrat utama mereka adalah lagu-lagu dari The Who dan The Small Faces, sedangkan Skinhead lebih suka mendengarkan musik Jamaika yang saat itu telah berevolusi menjadi Reggae, ya….Skinhead sangat identik dengan musik Reggae. Kenapa para Skinhead mengadopsi Reggae sebagai musiknya telah banyak di perdebatkan saat ini.
Teori pertama adalah hal itu di sebabkan oleh para Skinhead ini tinggal bertetangga dengan para imigran Jamaika sehingga ada interaksi budaya di antara mereka, salah satunya adalah musik Reggae. Hal tersebut menyebabkan para Skinhead ini terpengaruh oleh budaya dan penampilan Rudeboy di Jamaika, termasuk celana yang di perpendek atau di gulung di atas mata kaki untuk memperlihatkan Boots 8 atau 10 lubang yang saat itu populer di kalangan para Skinhead. Baik Mods dan kemudian Skinhead sangat mencintai dan terinspirasi oleh budaya Rude boy Jamaika, dan menggabungkannya dengan budaya kelas pekerja Inggris untuk membentuk sebuah budaya baru yaitu budaya “Skinhead’. 
Teori kedua adalah hal ini di sebabkan oleh warisan dari budaya Mods dan terlebih lagi karena kepopuleran Ska yang semakin meningkat semenjak lagu My Boy Lollypop (Millie Small) bertengger di posisi nomor 1 di tangga lagu nasional Inggris pada tahun 1964.
Teori ke tiga adalah hal ini di sebabkan oleh harga piringan hitam Reggae yang saat itu murah, sehingga mudah bagi para Skinhead untuk mendapatkannya. Namun teori yang paling banyak di setujui adalah: pengadopsian Reggae sebagai musik Skinhead saat itu di sebabkan oleh penolakan mereka terhadap musik Progresif Rock ala band-band Woodstock seperti The Cream dan Jimmy Hendrix yang di sukai oleh para Hippies, ya…. Skinhead adalah sebuah budaya penolakan terhadap budaya Hippies yang cenderung kelas menengah. Namun apapun alasannya, pada saat The Pioneers merilis Longshot Kick The Bucket dan mencapai sukses di bulan oktober 1969, lalu di susul dengan lagu Desmond Dekker yang bejudul Israelites yang meraih posisi pucak pada akhir tahun 1969, Skinhead dan Reggae pun menjadi semakin identik, dan munculah sebutan baru bagi genre musik ini: ‘Skinhead Reggae’. Namun hal utama yang membuat Skinhead tertarik pada Reggae tentulah iramanya yang riang dan mengajak tubuh secara alami untuk berdansa. Kenyataanya lirik lagu tidaklah penting karena sedikit sekali Skinhead saat itu yang mengerti bahasa ‘slang’ Jamaika yang di gunakan dalam lagu-lagu Reggae. Buktinya adalah: Israelites-nya Desmond Dekker boleh saja laku sebanyak 8 juta copy di seluruh dunia saat itu, tapi coba tanya apa isi dari liriknya pada 10 orang Skinhead maka kau akan mendapatkan 10 jawaban berbeda pula. ‘Dan itulah hal-hal yang membentuk Budaya ini, dari Gang Hard Mods di jalanan dengan scooternya, Bootboys / Hooligans di teras sepak bola, dan Rude boy di lantai dansa datanglah anak-anak kelas pekerja bernama Skinhead….’
                Musik Ska Jamaika memang sudah masuk ke Inggris sejak awal dekade 60-an dan sempat populer di pertengahan dekade tersebut. Itu semua berkat kepiawaian para promotor musik yang memboyong artis-artis Jamaika ke Inggris seperti Christ Blackwell pemilik Island Records. Namun hal yang terjadi pada Ska tersebut berbeda dengan hal yang terjadi pada Reggae. Walaupun secara teori Reggae adalah ‘bentuk baru’ dari Ska, hal tersebut tidaklah membuat Reggae langsung populer di Inggris. Pada awal masuknya Reggae ke daratan Inggris di tahun 1968, stasiun-stasiun radio dan media musik hampir tak memberikan dukungan pada Reggae. Kenyataanya bahkan mereka mengkritisi Reggae sebagai musik yang masih mentah (Reggae kadang-kadang hanya menggunakan 2 kunci gitar dan berdurasi 2 atau 3 menit, benar-benar kontras dengan Progresif Rock yang rumit dan berdurasi 6 sampai 8 menit), lebih dari itu mereka menyebutnya sebagai musik ‘yobbo (kasar dan Bodoh)’.
Asosiasi Reggae dengan Skinhead pun membuat musik ini di jauhi pasar mainstream. Akibatnya jika tak ada publikasi dan pemberitaan di media tentu saja tak akan bisa masuk tangga lagu dan sedikit sekali toko yang mau menjual piringan hitam artis-artis Reggae seperti Bob Andy, Desmond Dekker dan Toots and The Maytals. Saat itu Reggae hanya di putar di pub-pub dan club-club malam seperti Ram Jam club, Golden star club, The Ska Bar, dll, yang sebagian besar pengunjungnya adalah para Skinhead, yang segera mengadopsi musik ini sebagai bagian terpenting dari budaya baru mereka.
Namun seiring semakin membesar dan mewabahnya budaya Skinhead di Inggris, maka Reggae pun semakin populer, hal inilah yang mengantarkan lagu-lagu Reggae ke puncak tangga lagu nasional, lalu tiba-tiba saja Reggae menjadi kesukaan semua orang, bukan hanya Skinhead saja.
Perusahaan rekaman paling terkemuka yang memproduksi dan menyalurkan rekaman piringan hitam Reggae saat itu adalah Trojan Recods. Perusahaan ini didirikan oleh Island Records dan Beat and Commercial Company (B & C) di tahun 1968. Tapi kemudian Christ Blackwell si pemilik Island records menarik diri dari kepemilikan saham Trojan records, menyerahkan seluruh perusahaan itu pada Lee Goptal pemilik B & C company yang tadinya adalah seorang akuntan. Saingan utama dari Trojan records adalah Pama records dan label-label yang di subsidinya yang merupakan milik dari Harry Palmer dan dua orang saudaranya. Masing-masing label tersebut mepunyai artis-artisnya sendiri-sendiri yang populer di kalangan Skinhead saat itu. Di pihak Trojan ada artis-artis seperti: Desmond Dekker, Judge Dread, Toots and The Maytals, Harry J allstars, The Pioneers, The Maytones, Joe white, Clancy Ecccles, Symarips dan banyak lagi, sedangkan di pihak Pama ada: Laurel Aitken, Derrick Morgan, Pat kelly, The Marvels, Alton Ellis, The Upsetter dan banyak lagi. Persaingan antara kedua label ini di manfaatkan oleh produser-produser Jamaika yang tidak jujur untuk menghasilkan uang lebih banyak, tak jarang mereka teken kontrak dengan kedua label tersebut tanpa sepengetahuan salah satu dari mereka. Namun persaingan ini di menangkan oleh Trojan, dengan lebih dari 40 buah label yang di subsidinya, label itu menguasai 80% pasar musik Reggae saat itu. Pada akhir tahun 1969 Trojan merilis sebuah hits Reggae yang kelak menjadi sangat legendaris dalam budaya Skinhead, yaitu Skinhead Moonstomp oleh Symarips (alias The Pyramids). Skinhead Moonstomp ini kemudian bahkan menjadi semacam standar bagi lagu-lagu Skinhead Reggae, padahal irama-nya adalah jiplakan dari Moonhop-nya Derrick Morgan yang di rilis oleh Pama. Terlepas dari hal tersebut Skinhead Moonstomp adalah lagu Reggae pertama yang membahas Skinhead dalam liriknya, hal itu membuat Skinhead kini seakan punya corong publikasi tersendiri, terlebih lagi hal itu membuat semakin kuatnya hubungan emosional antara artis-artis Reggae Jamaika dengan para Skinhead, anak kelas pekerja Inggris yang menjadi fans utamanya.
Skinhead Moonstomp kemudian di susul oleh lagu-lagu lain yang menjadikan Skinhead sebagai objek bahasan dalam lirik, diantaranya adalah Skinhead girl, Skinhead Jamboree (The Symarips), Skinhead shuffle (The Mohawk), Skinhead Train (Laurel Aitken), Skinheads don’t fear dan Skinhead Moondust (The Hot Rod All stars), Skinhead Revolt (Joe The Boss), Skinhead a message to you (Desmond Riley), Skinhead a Bash them (Claudette and The Corporation), dan masih banyak lagi. 
Populernya Skinhead Reggae di Inggris saat itu bahkan kemudian membuat Ska dan rocksteady kembali populer di lantai-lantai dansa klub-klub malam. Musik favorit lainnya di kalangan Skinhead saat itu adalah musik Soul Amerika yang lebih di kenal dengan istilah ‘Northern Soul’ yang di rilis di bawah label Tamla Motown, Stax dan Atlantic Records. Artis-artis-nya di antara lain adalah Martha Reeves and The Vandelas, Smokey Robinson, Aretha Franklin, The Miracles, The Supremes, Ray Charles, dll, yang sudah ngetop sejak awal dekade 60-an. Tidak seperti Reggae, Soul mendapatkan dukungan publikasi penuh dari media, sehingga lebih populer di kalangan umum, namun Reggae tetaplah musik nomor satu bagi para Skinhead. Bahkan di awal tahun 1970 diadakan Carribean Music Festivals yang di hadiri 9000 penonton, di susul dengan The UK Reggae Tour yang menampilkan The Upsetter, The Pioneers, Jimmy Cliff, Harry J Allstars, Desmond Dekker, Max Romeo, dll, yang berkeliling Inggris selama 4 minggu. Klub-klub kenamaan di London pun secara reguler menampilkan artis-artis Jamaika.
Reggae benar-benar populer saat itu, dan fans fanatiknya adalah Skinhead, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi kolektor serius musik Jamaika. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi DJ Reggae dan memulai bisnis sound systemnya sendiri. Bahkan ada semacam peraturan tak tertulis saat itu, yaitu semakin banyak koleksi yang di miliki seorang Skinhead maka ia akan semakin di hormati, tak heran Skinhead saat itu menghabiskan sebagian besar uangnya untuk membeli piringan hitam Reggae.
                Memasuki era 70-an budaya Skinhead menjadi semakin besar dan semakin jauh meninggalkan ‘bapaknya’ para Mods. Budaya ini semakin identik dengan kekerasan, seiring dengan pemberitaan di media massa yang semakin hari semakin memojokkan mereka. Saat itu semakin banyak anak-anak muda yang bergabung dengan budaya ini, sayangnya mereka terpengaruh dengan reputasi Skinhead yang di bentuk oleh media, sehingga mereka kira Skinhead hanyalah tentang kekerasan, rusuh di stadion sepak bola dan memukuli siapapun yang tidak mereka sukai. Kelak reputasi kekerasan ini semakin di perparah dengan turut campurnya kekuatan politik sayap kanan yang menyusupi budaya Skinhead. Sejak tahun 1971 musik Reggae di Jamaika sendiri berubah seiring dengan merebaknya paham Rastafarian (sebuah paham yang mengajarkan bahwa Ras kulit hitam di luar Afrika harus kembali ke Afrika, Tanah yang di janjikan bagi mereka) di negeri itu. Reggae tiba-tiba adalah tentang Zion, Jah, Babylon, dan semua hal berbau afrika, tak ada lagi lagu-lagu tentang para Skinhead di daratan Inggris, hal ini tentu saja seakan memutus hubungan emosional antara Jamaika dan budaya Skinhead. Musik soul sendiri kini telah berevolusi sedemikian rupa menjadi musik Disko, membuat Skinhead semakin kehilangan Jati dirinya. Kini hanya tinggal kekerasan sajalah yang menjadi identitas budaya ini, tiba-tiba saja kau adalah orang yang bersalah di mata masyarakat jika kau adalah seorang Skinhead.
Hal ini membuat para Skinhead yang lebih tua dan merupakan pelopor budaya ini semakin muak dengan keadaan saat itu. Semakin kau tua maka kau semakin dewasa dan tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh seperti berkelahi di jalanan tanpa tujuan yang jelas. Memasuki tahun 1972 budaya Skinhead semakin kehilangan arahnya, tapi budaya ini tidaklah musnah atau hilang begitu saja layaknya sebuah trend, kenyataanya budaya Skinhead terus berkembang seiring lahirnya generasi baru budaya ini…..
Cerita ini pun berlanjut dengan para tokoh yang merupakan ‘anak-anak’ dari budaya Skinhead yang bernama: Suedehead, Smoothies, Bootboys, dan Clockwork Skinhead………


BAB IV: Perkembangan Budaya Selanjutnya

Terlepas dari sebuah ketetapan hati bahwa menjadi Skinhead adalah ‘kontrak seumur hidup’, namun pada kenyataannya akan tiba waktu dimana setiap Skinhead meninggalkan Jeans dan Levi’s Stapress, kemeja Ben Sherman, Bretel (suspender) dan Dr Marten Boots-nya. Itulah kenyataan hidup yang harus kau hadapi, kau tak bisa lagi bergaya seperti seorang berandalan jalanan saat umurmu mendekati 30 tahun bahkan lebih. Karena kehidupanmu harus terus berlanjut ketingkatan yang lebih tinggi, bekerja, menikah dan mempunyai anak-anak yang harus kau hidupi. Apalagi jika penampilan tersebut mulai mengganggu kehidupan sosialmu, “terima kasih pada Media yang telah dengan suksesnya membunuh karakter budaya Skinhead”.
Diawal dekade 70-an jangan harap kau dapat pekerjaan jika orang-orang tahu kalau kau adalah seorang Skinhead, kau akan segera ditolak jika datang melamar pekerjaan dengan memakai “seragam” Skinhead-mu, kalaupun jika kau mendapatkan pekerjaan itu, maka mereka menyuruhmu untuk menumbuhkan rambutmu.
Skinhead benar-benar  sesosok mahluk yang ditolak keberadaannya saat itu, dan Media adalah dalang di balik semua ini. Mereka dengan sukses membentuk anggapan bahwa Skinhead tak lebih dari sekedar Gangster botak yang kejam, tak berperasaan dan tak berotak!. Seorang Skinhead tanpa alasan yang tepat bisa saja di tangkap polisi bahkan ketika dia sedang duduk-duduk di taman, sedang minum bir di pub, atau saat membeli tiket pertandingan sepak bola. Hidup benar-benar berat bagi mereka saat itu, mereka adalah kaum terbuang dari masyarakat yang munafik.
                Sering kali dalam hidup ini kita harus berurusan dengan hal-hal yang kita benci, tapi kita harus melakukannya jika ingin bertahan hidup. Hal itulah yang terjadi dengan para Skinhead di awal tahun1970-an, di satu sisi mereka cinta dengan budaya yang ‘mengontrak’ mereka seumur hidup, namun di sisi lain hidup mereka pun harus terus berlanjut, mereka tak bisa selamanya hidup di bawah ketiak Ayah dan Ibunya, prioritas hidup mereka kini telah berubah. Akibat dari keadaan tersebut adalah: memasuki tahun 1970 banyak Skinhead yang menumbuhkan rambutnya menjadi sedikit lebih panjang agar tidak di kenali orang-orang awam sebagai seorang Skinhead, hooligans, bovver boys atau sebutan apapun yang berkonotasi negatif.
Setelan jas yang tadinya hanya di pakai pada kesempatan tertentu kini di pakai hampir setiap hari. Pakaian menjadi sedikit lebih kalem, bahkan sepintas seperti Mods. Levi’s sta-press, kaus fred perry, kemeja ben sherman, jaket harrington, bahkan crombie kini semakin populer di pakai, di kemudian hari bahkan muncul sebuah sebutan baru yang menjadi sub-budaya Skinhead bernama Crombie boys. Sepatu loafers terkadang di pakai sebagai ganti Boots yang berkonotasi negatif (saat itu jika kau memakai boots maka kau diidentikkan dengan orang-orang yang melakukan kekerasan di teras sepakbola). Lalu muncullah sebutan baru bagi mereka, sosok Skinhead yang lebih kalem: ‘Suedehead’, sebuah nama yang mengacu pada rambut mereka yang lebih panjang dari pada Skinhead pada umumnya (tak terlalu panjang, hanya sampai bisa di sisir rapih, biasanya di sisir belah pinggir). Para Skinhead girl yang lebih di kenal sebagai Chelsea pun ikutan memanjangkan rambutnya, mereka meninggalkan potongan feather cut dan menata rambutnya menjadi lebih feminim lagi.
Apakah sebuah budaya baru telah lahir…?? Tidak juga…!! Karena sejak awal perkembangan budaya Skinhead sudah ada sekelompok Skinhead yang berpenampilan seperti Suedehead. Lagi pula ada hal yang lebih penting daripada pakaian yang dapat dengan mudah di beli, hal itu adalah pola pikir dan nilai-nilai dasar budaya Skinhead yang tak pernah di tinggalkan oleh para Suedehead ini. Tidak seperti ketika Mods berevolusi menjadi Skinhead di akhir 60-an dulu yang di sebabkan oleh masalah kelas dan ekonomi sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir, perubahan dari Skinhead menjadi Suedehead sama sekali tak melibatkan masalah ekonomi dan kelas. Perubahan itu lebih di sebabkan oleh tekanan dari media dan masyarakat, bahkan lebih kepada masalah fesyen saja. Buktinya tingkah laku berandalan mereka tidaklah hilang sama sekali, mereka tetaplah keras, pemberani dan doyan berkelahi. Kebiasaan membawa-bawa senjata tajam ke teras sepak bola pun tetap mereka pelihara, bahkan kini mereka membawa payung yang di tajamkan ujungnya sebagai senjata (jadi bukan sebagai pelindung di kala hujan), yah….Sekali petarung jalanan, salamanya petarung jalanan, bukti bahwa hal itu adalah kontrak seumur hidup.
                Memasuki tahun 1971 bahkan para Suedehead mulai memanjangkan rambutnya menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Potongan rambut ini hampir seperti potongan rambut orang kebanyakan, biasanya pendek dibagian atas dan sedikit panjang di bagian samping dan belakangnya (mirip potongan feather cut tapi tak se-ekstrim itu). Lalu sebutan baru pun muncul bagi mereka: Smoothy, yang mengacu pada model rambut baru mereka. Pakaian yang dikenakan pun kini berubah, para Smoothy berdandan lebih kasual ketimbang Suedehead ataupun Skinhead. Mereka biasanya memakai kaus tak berkerah dan kemeja, namun ben sherman bukanlah lagi pilihan yang populer, celana bahan biasa, jumpers, dan yang paling penting tentu saja Crombie. Boots kini hampir-hampir di tinggalkan sama sekali, sebagai gantinya adalah sepatu kasual yang biasa di pakai pekerja kantoran, namun pada beberapa kesempatan Boots tetap di pakai. Para wanita Smoothy pun mempunyai sebutan tersendiri, yaitu: Sorts. Skinhead memang sebuah budaya yang lebih berorientasi laki-laki, namun dalam perkembangannya para Skinhead girl pun mengembangkan cara berpakaiannya sendiri yang cukup unik. Para Sort ini berambut lebih panjang dari pada Skinhead ataupun Suedehead girl, mereka memakai kemeja Brutus, rok pendek yang lebar di bagian bawahnya, dan sepatu Ravel (sejenis sepatu Beebop yang biasa dipakai perawat).
Bagi kebanyakan orang para Smoothy berpenampilan ‘normal’ layaknya mereka, bahkan mata rantai hubungan mereka dengan budaya Skinhead hampir-hampir hilang sama sekali, hal itulah yang membuat mereka tak terlalu populer dan menghilang seiring dengan masuknya budaya Punk ke Inggris.
                Para Smoothy sebenarnya mempunyai ‘saudara kembar tak identik’, yaitu para Bootboys. Bootboys termasuk budaya yang mampu bertahan dan memasuki era 70-an dengan selamat. Kekerasan di teras sepak bola mencapai level tertingginya selama musim kompetisi 1970-1971 dan terus berlanjut di musim kompetisi 1971-1972, inilah yang menandai kembalinya budaya Bootboys setelah sempat hilang ditelan histeria budaya Skinhead tahun 1969 lalu. Dalam hal penampilan luar, Bootboys ini memang mirip para Smoothy terutama dalam hal penampilannya yang kasual. Hal yang membedakannya dengan Smoothy adalah para Bootboys ini mewakili penampilan teras sepak bola yang keras dan gahar, sementara Smoothy penampilannya lebih ‘resmi’ dan mewakili kehidupan klub-klub malam di Inggris. Terlebih lagi Smoothy dan Suedehead adalah budaya yang lebih banyak berkembang di selatan Inggris, sedangkan Bootboys adalah budaya yang berkembang di utara Inggris di mana sepak bola lebih populer daripada musik Reggae dan Soul.
Musik dan fesyen memang menjadi nomor dua dalam hidup seorang Bootboys, nomor satu tentunya adalah sepak bola dan kehidupan Gank. Kalaulah ada barang yang wajib di pakai oleh seorang Bootboy, maka sepasang Dr Marten Boot lah itu, sedangkan celana dan baju tidak menjadi masalah. Reggae dan soul tetap populer di sebagian mereka sedangkan sebagian lagi memilih mendengarkan musik apapun yang saat itu populer termasuk Glam Rock yang merupakan pengembangan dari Progresif Rock-nya para hippies. Kebanyakan Bootboys ini pada kenyataannya ‘pernah menjadi’ Skinhead, walaupun tak melewati fase perkembangan Suedehead dan Smoothy. Memasuki tahun 1972-1974 terlepas dari Boots dan kebiasaan berkelahi di teras sepak bola, budaya Bootboys ini mempunyai sedikit sekali hubungan dengan Skinhead, kelak kedua budaya ini rujuk kembali bersamaan dengan munculnya Punk generasi baru yang lebih di kenal dengan sebutan Oi! / Street Punk.   Namun semua perkembangan budaya yang sudah dijelaskan diatas tadi tidaklah sama di semua kota di daratan Inggris, contohnya di beberapa tempat sudah mengalami fase Smoothy pada pertengahan 1970, sementara di tempat lainnya tak melewati fase Skinhead sampai 1975. Umumnya bahkan terjadi percampuran fesyen dari masing-masing fase, artinya Skinhead, Suedehead, Smoothy dan Bootboys bahkan Mods pada saat yang sama.

                Jika ada Skinhead yang sangat terkenal popularitasnya di era 70-an (bahkan hingga hari ini), maka Joe Hawkins-lah orangnya. Joe adalah seorang Skinhead seutuhnya, ia berdandan rapih, keras, menyukai Reggae (kemudian Oi! dan Street Punk), dan gemar mematahkan tulang rusuk para Hippies dengan sepatu bootsnya. Sayangnya Joe tidaklah nyata, ia adalah tokoh khayalan dari seorang pengarang novel bernama Richard Allen. Novel berjudul Skinhead tersebut diterbitkan pada tahun 1970, dan langsung mendapatkan perhatian nasional bahkan termasuk dalam daftar 10 buku terlaris saat itu karena isinya yang eksplisit menggambarkan kehidupan Joe yang brutal dan penuh kekerasan, sebuah kenyataan yang sebenarnya dialami para Skinhead. Kesuksesan novel Skinhead ini segera di susul oleh novel-novel berikutnya dimana Joe tetap menjadi tokoh utamanya, yaitu: Suedehead, Smoothies, Bootboys, Terrace Warrior, Punk Rock, Mod Rule, Skinhead Girl, Skinhead Escape, Troubble For Skinhead, Sorts, Top Gear Skins, Skinhead Farewell, Glam, Terrace Teror, Knuckle Girls, dan Dragon Skins.
Tahun 1970 terbit sebuah film berjudul Clockwork Orange yang disutradarai oleh Stanley Kubricks. Film ini menceritakan seorang pemuda bernama Alex, seorang pemimpin gank yang terobsesi berbuat kekerasan, memukuli orang tanpa alasan yang jelas dan memperkosa bahkan membunuh. Di film itu Alex dan gank-nya berdandan ala seorang petarung jalanan: Riasan berupa bulu mata palsu di mata sebelah kanan (atau kadang-kadang memakai topeng badut) baju dan celana putih, payung yang di tajamkan ujungnya, dan dilengkapi dengan pelindung yang dipakai petinju untuk melindungi organ vitalnya, dan yang paling penting tentu saja sebuah topi Bowler.
Yang membuat Alex mirip dengan Skinhead adalah sepatu Bootsnya, ditambah dengan tindakan Alex dan gank nya yang khas para Skinhead, benar-benar sebuah penampilan dan tingkah laku Horor…!!! Terlepas dari film ini sangatlah kontroversial dan dilarang peredarannya, kenyataannya Clockwork Orange menginspirasi sekelompok kecil Skinhead. Mereka mulai berdandan ala Alex dan gank nya, melakukan kekerasan ekstrim, dan sebuah sub-budaya baru dari budaya Skinhead pun lahir: Clockwork Skinhead. Film ini kelak juga menginspirasi lagu-lagu beberapa band Oi! dan street punk seperti The 4 Skins, The Violators, The Last Resorts, Angelic Upstart, Major Accident dan yang paling legendaris The Addicts.
                Era ini juga adalah untuk pertama kalinya muncul ‘Band Skinhead’ bernama Slade. Masih diperdebatkan sampai saat ini apakah para anggota Slade adalah benar-benar Skinhead atau bukan, namun kenyataannya saat itu mereka berdandan layaknya seorang Skinhead. Sayangnya memasuki tahun 1971 Slade berubah menjadi band Glam rock dengan rambut gondrongnya, tapi tak dapat dipungkiri kalau band ini adalah band yang sangat berpengaruh pada Cock Sparrer, band favorit Skinhead sepanjang masa. 


Mereka kembali dihubungkan dengan Skinhead saat mereka main di Great British Music Festivals 1978 saat terjadi perkelahian antara Mods dan Skinhead ketika The Jam naik ke panggung dan berakhir dengan insiden penikaman seorang Mods oleh seorang Skinhead. Memasuki pertengahan tahun 1975, Skinhead benar-benar hampir hilang dari daratan Inggris, seiring dengan menjauhnya Reggae dan Soul dari kehidupan anak-anak kelas pekerja Inggris. Kini tinggallah para Bootboys yang mengadopsi musik para Hippies seperti Glam rock ala Slade dan Mott The Hoople sebagai budayanya. Pada tahun yang sama Judge Dread merilis lagu Bring Back The Skins dalam albumnya yang paling legendaris Last of The Skinhead. Lirik di lagu itu yang seakan bernostalgia pada masa-masa keemasan Skinhead di tahun 1969 dulu itu tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Anak-anak kelas pekerja yang keras dan menguasai jalan-jalan di se-antero Inggris kembali lagi, kali ini dengan penampilan baru, namun tetap dengan semangat yang sama, semangat Jalanan. Ya…Skinhead kembali lagi, kali ini dengan sebuah pergerakan musik baru bernama Street Punk…


BAB V: Infiltrasi Fasisme Ke Dalam Budaya Skinhead

Seperti dipaparkan sebelumnya, Skinhead sangat terkenal akan reputasi kekerasannya, baik di teras sepak bola, dijalanan, atau dimanapun Skinhead selalu di asosiasikan dengan kekerasan. Kekerasan ini biasanya mereka lakukan terhadap musuh-musuh budaya mereka seperti Hippies, Greasers, Teds, ataupun Hell Angels. Namun yang paling menjadi perhatian nasional adalah kekerasan Skinhead terhadap orang-orang Asia yang hidup di Inggris, terutama imigran asal Pakistan. Hal yang lebih dikenal dengan istilah Paki Bashing atau Paki Aggro ini sangat sering terjadi, diliput besar-besaran oleh media dan bahkan menjadi topik utama yang dibahas antara pemerintah Inggris dan Pakistan saat itu.             Padahal kenyataannya bukan hanya orang Pakistan saja yang menjadi korban kekerasan para Skinhead, orang India, Bengali, dan bangsa-bangsa asal Asia lainnya pun menjadi korban dan diberi label Paki. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah para Skinhead memukuli para imigran tersebut dalam setiap pertemuan mereka atau merusak toko-toko mereka, dan berbagai tindakan vandalisme lainnnya. Seketika itu juga Skinhead di identikkan dengan Rasisme, lagi-lagi terima kasih kepada media yang dengan suksesnya membunuh karakter budaya ini. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah sekedar kekerasan Rasial seperti yang diberitakan oleh media, karena pada kenyataannya bukan hanya Skinhead kulit putih Inggris saja yang melakukan hal tersebut, anak-anak muda keturunan Yunani, anak-anak Ras campuran, bahkan para Skinhead berkulit hitam (Affro Boys) pun ikut terlibat dalam aksi-aksi penyerangan terhadap orang-orang Asia.
Yang membuat para Skinhead melakukan penyerangan terhadap mereka adalah karena kebanyakan dari para Imigran ini tidak mau berbaur dan malah menjauhkan diri dari masyarakat Inggris umumnya. Tidak seperti para imigran asal Jamaika yang hidup berdampingan dan berbaur dengan masyarakat Inggris. Orang-orang Asia ini hidupnya sangat eksklusif dan terpisah dari masyarakat ‘negara baru’ mereka. Mereka mempunyai Kafe, Pub dan Bioskop sendiri dimana para Skinhead dan orang-orang kulit putih Inggris tak boleh masuk ke sana. Mereka tidak mau berbahasa Inggris, bersosialisasi hanya dengan sesama mereka dan tak pernah mau menjadi bagian dari masyarakat negara dimana mereka tinggal, jauh berbeda dengan orang-orang Jamaika yang tak sedikit kontribusinya bagi budaya kelas pekerja Inggris, ya….budaya Skinhead. Mereka hanya menjadikan Inggris sebagai tempat mereka bekerja dan mencari uang, lalu mengirimnya kepada keluarga di negara asal mereka. Rasanya tak ada penduduk negara manapun yang mau hidup berdampingan dengan para imigran tak tahu diri seperti itu. Sikap dan tingkah laku para imigran inilah yang menyebabkan para Skinhead marah sehingga terjadi Paki Bashing, jadi bukannya karena warna kulit mereka. Namun apa yang di lakukan para Skinhead itu menjadi hal yang salah ketika pihak lain (sesudah media) ikut campur dan memperkeruh suasana. Mereka adalah para Politisi penganut Fasisme…
                Adalah Enoch Powell, seorang politisi ambisius dan pembangkang yang memulai catatan hitam dalam sejarah Skinhead ini. Pada April 1968 ia berpidato di depan majelis perwakilan tinggi Inggris, dan pidato yang berjudul Rivers of Blood itu membuatnya kehilangan posisinya di kabinet. Pidato tersebut berisi pengecaman dan sentimental Rasisme secara langsung terhadap para imigran kulit berwarna. Enoch mengatakan bahwa para imigran kulit berwarna dari Jamaika, Afrika dan Asia lah yang harus di salahkan atas permasalahan langkanya pekerjaan dan perumahan di Inggris saat itu. Ia menerangkan dengan berapi-api bahwa mereka adalah saingan bagi penduduk asli Inggris dalam mencari penghidupan dan perumahan, sedangkan mereka tidaklah punya hak di negeri itu. Ia menyerukan agar segera diadakan pengusiran besar-besaran terhadap para imigran asal Jamaika, Afrika dan Asia tersebut. Rivers of Blood mungkin saja membuat Enoch dikucilkan dari kancah perpolitikan Inggris, namun pidato tersebut mendapatkan sambutan hangat dari sebagian besar masyarakat Inggris terutama kelas pekerja yang merasakan langsung akibat dari membanjirnya imigran saat itu. Ia menarik simpati sepuluh ribu orang yang berdemo di depan gedung parlemen Inggris, menyatakan dukungan mereka tehadap Enoch. Dalam waktu singkat tiba-tiba saja Enoch menjadi idola baru kelas pekerja terutama dikalangan kaum mudanya, ya… Enoch adalah pahlawan bagi beberapa Skinhead saat itu dan merekalah yang mewujudkan ide-ide Enoch di jalanan.
Namun saat itu mereka belumlah menjadi pendukung aktif nya Enoch, kebanyakan Skinhead saat itu tak tertarik dengan politik terorganisasi, kebanyakan bahkan belum mempunyai hak pilih, sebagian lagi lebih memilih partai buruh, partai Torries bahkan partai liberal saat pemilihan umum.
Dikucilkan dari kancah perpolitikan tidaklah membuat Enoch menyerah, dengan bermodalkan kepopuleran dirinya dikalangan sebagian besar kelas pekerja, ia mendirikan sebuah partai bernama National Front. Partai yang berlandaskan pada ideologi Ultra Nasionalisme atau Fasisme ini menjadi kendaraannya untuk menjadi oposisi pemerintahan dan mewujudkan mimpinya akan superioritas kulit putih Inggris terhadap imigran kulit berwarna. Namun secara umum tak banyak orang yang menanggapi Enoch dan NF secara serius di tahun-tahun akhir dekade 60-an. Tapi pada pertengahan dekade 70-an populeritas NF mencapai puncaknya, partai ini mendapatkan 250 ribu suara dalam pemilihan lokal tahun 1977. Beberapa kalangan memprediksi bahwa NF akan menjadi kekuatan pengganti partai Liberal yang saat itu menjadi partai politik ke tiga terbesar di Inggris sesudah partai buruh dan partai konservatif. Seperti halnya partai-partai politik lainnya NF pun mengincar suara dari kaum muda, dan yang menjadi incaran mereka saat itu adalah para Skinhead. Hal tersebut karena mereka memandang Skinhead adalah kaum yang tepat untuk dijadikan pejuang-pejuang utama yang maju di garis depan memperjuangkan ide-ide politik mereka. Mereka tertarik dengan reputasi kekerasan Skinhead, ditambah latar belakang mereka sebagai kelas pekerja yang tentunya dengan mudah termakan agitasi dan propaganda NF tentang imigran kulit berwarna. Keras, militan, dan berlatar belakang kelas pekerja, ya….Skinhead adalah target yang sangat tepat untuk dijadikan sasaran perekrutan NF.         Segera saja NF dengan licik merubah isu kemiskinan yang sebenarnya adalah isu klasik tentang pertentangan kelas menjadi isu kebencian rasial. Mereka melimpahkan kemiskinan yang sebenarnya terjadi sebagai akibat dari bobroknya sistem pemerintahan Margareth Tatcher kepada imigran kulit berwarna, persis seperti yang dulu dilakukan Hitler di Jerman terhadap orang Yahudi. Keadaan pun sangat memungkinkan hal itu terjadi, era 70-an adalah era kekacauan yang merupakan akumulasi dari kesalahan yang terjadi di era-era sebelumnya, hal ini diperkuat dengan kemunculan gelombang Punk di Inggris, yang bermuara pada ketidakpuasan kaum muda terhadap keadaan saat itu. Permasalahan sosial di akhir 70-an pun lebih kompleks ketimbang di era sebelumnya, anak-anak muda saat itu frustasi dengan kenyataan hidup, mereka bingung apa yang harus dilakukan saat lulus sekolah karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit, hal itulah yang membuat mereka manjadi lebih agresif dan merupakan sasaran empuk bagi NF.
Lalu di tahun 1977 berdirilah organisasi bernama Young National Front, sebuah organisasi bawahan NF yang mengkhususkan diri untuk menampung para Skinhead yang tertarik dengan ide-ide NF. Media lagi-lagi ikut campur, mereka dengan seenaknya mengasosiasikan semua Skinhead dangan NF, tanpa menjelaskan bahwa banyak juga Skinhead yang menentang habis-habisan ide NF dan bergabung dengan Anti Nazi League, atau bahkan ada juga Skinhead yang tak mau terlibat masalah tersebut. Terlebih lagi pada kenyataaanya bukan hanya Skinhead yang menjadi simpatisan NF, Punks, Teds, Mods bahkan orang-orang biasa pun banyak yang menjadi simpatisan partai ini.
NF dan segala agitasinya semakin menggila dengan slogan-slogannya seperti ‘jika mereka berkulit hitam, kirim mereka pulang!!!’ dan menetapkan garis perjuangan baru yang lebih radikal dari sebelumnya, yaitu:
1.       Negara Inggris hanyalah untuk orang Inggris, hentikan imigrasi…!!!
2.       Lapangan pekerjaan di Inggris hanyalah untuk pekerja Inggris saja.
3.       Hancurkan IRA (tentara rakyat Irlandia Utara yang memberontak pada kerajaan Inggris)
4.       Menyerukan agar Inggris keluar dari common market (pasar bersama Inggris dan negara-negara bekas jajahannya)
5.       Hentikan bantuan bagi negara-negara lain, bangun perumahan dan sarana kesehatan bagi masyarakat Inggris.
6.       Hancurkan_Komunisme.
               
Benar-benar janji dan seruan yang bermuara pada mimpi-mimpi kosong demi mencapai tujuan politik sekelompak elit di NF, mustahil hal itu terwujud jika NF berhasil menjadi partai yang bekuasa sekalipun, karena ‘pada akhirnya kelas pekerja-lah yang menjadi pecundang tak peduli siapapun yang memerintah’. Semua propaganda itu di publikasikan melalui sebuah koran bernama Bulldog yang terbit setiap bulan. Dengan Enoch sebagai ketua partai, Bulldog sebagai alat propaganda, dan para Skinhead anggota YNF yang siap bertarung di jalan-jalan membela garis politik NF, partai ini menjadi ancaman baru di kancah percaturan politik Inggris.
Ironisnya reputasi buruk Skinhead akan tindak kekerasan yang sejak dulu melekat justru membuat orang-orang awam berpaling dari NF, suara partai ini merosot tajam pada pemilihan umum tahun1979. Para petinggi NF sadar kalau mereka salah langkah dengan merekrut para Skinhead, Skinhead pun tiba-tiba menjadi anak tiri di partai tersebut. Ketertarikan Skinhead terhadap NF pun semakin jauh berkurang, karena terungkap bahwa banyak petinggi NF yang homosexual, (sebuah hal yang dibenci Skinhead secara turun temurun karena ide kebebasan orientasi sex yang sebenarnya berasal dari ideologi para hippies, musuh budaya Skinhead). Terlebih lagi karena saat itu bermunculan organisasi yang lebih radikal daripada NF, diantaranya adalah British Movement, Anti Paki League, atau organisasi setengah militer seperti Section 88 dan National Socialist Action Party.
British Movement (BM) adalah yang paling besar dari semuanya, dengan anggota mencapai 8000 orang. BM adalah organisasi pertama yang secara terbuka mengakui kalau mereka menganut Fasisme dan ideologi nasional sosialis, ini adalah organisasi yang jauh lebih radikal daripada NF karena kebanyakan anggotanya lebih tertarik untuk aksi langsung dijalanan ketimbang ikut dalam percaturan politik.
Dengan masuknya ideologi Fasisme, nasional sosialisme, dan merebaknya sentimen anti kulit berwarna membuat Skinhead semakin jauh dari akar budayanya. Fakta sejarah membuktikan politik dalam bentuk apapun tak akan pernah memberikan keuntungan pada budaya Skinhead. Apapun alasannya tidaklah masuk akal jika seorang Skinhead menganut Nazi-isme, dan menjadi seorang Rasis. Tak mungkin seorang penganut budaya yang berasal dari budaya orang kulit hitam menjadi orang yang membenci kulit hitam dan kulit berwarna lainnya. ‘Tak akan ada yang namanya Skinhead di dunia ini tanpa campur tangan orang-orang kulit hitam’. Skinhead berhutang besar pada orang-orang seperti Laurel Aitken, Desmond Dekker, Derrick Morgan dan segudang artis kulit hitam Jamaika lainnya. Merekalah yang membidani dan membentuk budaya Skinhead di masa-masa awal perkembangan budaya ini. Benar jika dikatakan seseorang bebas memilih pandangan dan afiliasi politiknya, namun hal itu tidak berlaku bagi seorang Skinhead, karena ketika kau memproklamirkan bahwa kau adalah seorang Skinhead, maka disaat yang sama kau telah memproklamirkan dirimu sebagai seorang Anti-Fasis / Rasis.
“Setuju atau tidak setuju kau tidak bisa menjadi seorang Skinhead sejati jika kau adalah seorang Fasis, Rasis ataupun seorang Nasional Sosialis, kau tidak lebih dari sekedar orang tertolol di dunia jika kau tetap merasa menjadi seorang Skinhead tapi pada saat yang sama kau adalah seorang penganut ideologi-ideologi tersebut”. Menjadi seorang Nazi bukanlah sebuah pilihan bagi seorang Skinhead, itu adalah sebuah kesalahan besar…, pengingkaran dan penghinaan berat terhadap akar budaya yang kau anut dan kau banggakan, ingat hal itu…..!!!!


BAB VI: Kembalinya Para Skinheads

Memasuki pertengahan dekade 70-an skinhead hampir sama sekali hilang di daratan Inggris. Kini masa telah berganti, tak ada lagi anak-anak muda berandalan yang menguasai jalan-jalan di seantero Inggris raya, sebagian dari mereka berubah seiring betambahnya usia mereka, sebagian melanjutkan hidup menjadi orang biasa, bekerja, menikah dan punya anak, sebagian lagi tergilas zaman dan tertelan perkembangan subkultur lain.
Tak ada lagi juga kerusuhan di teras sepak bola secara massive seperti di era 60-an dulu, tak ada lagi juga “ritual tahunan” pembantaian para hippies, rockers, dan teds di tepi-tepi pantai seperti Hasting dan Brighton serta Bank Holiday. Bahkan musik reggae pun kini semakin menjauhkan diri dari skinhead seiring dangan pergerakan paham Rasatafarianisme di Jamaika. Reggae kini telah berubah menjadi musik yang hamper-hampir murni kulit hitam yang membahas tentang zion, etiophia, dan semua hal berbau afrika sehingga menghilangkan mata rantai hubungannya dengan anak-anak kelas pekerja Inggris yang rata-rata berkulit hitam, sehingga lagu-lagu kebangsaan para skinhead seperti skinhead moonstomp pun kini tinggal kenangan.
Namun sebenarnya skinhead tidaklah benar-benar menghilang, karena tetap ada skinhead yang memegang teguh semangat 69 di hatinya. Namun jumlah mereka sangatlah sedikit, bahkan di kota-kota besar seperti London dan Glasgow mencari skinhead hampir sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Ya… Skinhead benar-benar hampir habis tergilas_zaman.
                Lalu di tahun 1976 tiba-tiba sebuah pergerakan musik dan subkultur baru pun lahir di Inggris..Punk was Born and ready to kick everything down..!!!
Punk sendiri sebenarnya lahir di Amerika melalui tangan band-band seperti The New York Dolls dan Ramones, namun Punk dalam pengertian subkultur lahir di Inggris. Punk adalah sebuah bentuk Rock N’ Roll paling jujur, memberontak, berani, kasar, lugas dan lantang. Musik seperti itulah yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak muda Inggris yang frustasi dengan kehidupan yang monoton dan telah bosan dengan sampah imitasi seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zepelin dan si Dewa gitar eric Clapton.
Micky Fitz vokalis dari The Business dikemudian hari mengatakan bahwa Punk adalah hal terhebat yang pernah terjadi dalam sejarah musik rock di daratan Inggris. Cepat, keras, lantang, dan jujur… Itulah semangat Punk yang diusung band-band punk seperti The Stranglers, The Clash dan yang paling kontroversial…Sex Pistols. Roxy, Vortex, 100 clubs, hope and anchor adalah nama-nama club yang biasa menggelar gigs Punk. Punk tiba-tiba menjadi sangat massive, mendobrak kebuntuan dan memberi alternative bagi dunia musik rock di akhir 70-an yang membosankan. Dan ketika Anarchy in The UK merajai tangga lagu di Inggris, pergerakan inipun mulai diperhitungkan oleh dunia mainstream.
Namun di balik semua pemberontakan, kekasaran, kejujuran, dan segudang reputasi berbau mitos lainnya, Punk di era 77 bukanlah sebuah pemberontakan yang bersifat spontan dan datang dari jalanan seperti yang tampak di permukaan. Punk saat itu lebih seperti fashion yang dipakai untuk bergaya di jalan-jalan seperti Kings Road yang dilakukan setiap akhir pekan oleh penganut trend sesaat, dan para mahasiswa sekolah seni, bahkan ada yang lebih buruk lagi…Punk sangatlah bersifat kelas menengah.
Belilah sebuah jaket kulit dan lengkapi dengan patches logo Anarchy yang di jahitkan oleh ibumu di belakangnya maka kau sudah menjadi pemberontak…Benar-benar sebuah lelucon!! Punk saat itu ternyata adalah The greatest Rock N’ Roll Swindle…              Ya, penipuan terbesar dalam musik Rock n’ Roll. Sex pistols pahlawan punk dan band yang sampai saat ini di sebut-sebut sebagai salah satu band paling pemberontak di muka bumi ternyata tak lebih dari sebuah band imitasi bentukan Malcolm McLaren, seorang pengusaha kelas menengah dan pemilik butik mahal di Kings Road bernama Sex. Jhonny Rotten sang vokalis band ini tak lebih dari sekedar badut yang melakukan hal-hal tolol di depan umum demi mengangkat pamor bandnya., atau si Bodoh pecandu kokain Sid Vicious yang dengan bangganya memakai kaos bergambar swastika tanpa tahu apa arti lambang itu sebenarnya.                Lalu ada The Clash band yang di sebut-sebut sebagai band paling intelek diantara band-band punk era 77 ternyata tak kalah buruknya, walaupun tentunya agak sedikit lebih baik dari pada rekannya Sex Pistols. Joe strummer sang vokalis yang penganut paham komunisme ala Trotzky ternyata adalah anak seorang pejabat penting di kementrian luar negeri Inggris. Joe menghabiskan masa kecil dan remajanya tinggal di sebuah kawasan elit di London lalu kuliah di sebuah universitas mahal dan ternama ketika ia beranjak dewasa, benar-benar sebuah kontradiksi dengan lagunya White riot yang menceritakan tentang kerusuhan di daerah pemukiman kumuh kulit hitam yang jelas-jelas tak pernah di alaminya. Dengan latar belakang para tokoh utamanya seperti yang dijelaskan di atas tak heran jika Punk sedikit demi sedikit berakhir menjadi bagian dari dunia musik rock mainstream, benar-benar sebuah ironi… Sebuah pergerakan budaya yang melabeli dirinya sebagai kaum yang anti kemapanan ternyata kaum yang jelas-jelas mapan dalam pengertian apapun.
Memasuki tahun 1978 punk semakin memantapkan dirinya menjadi bagian dari dunia rock mainstream. Band-band seperti Sex Pistols, The Clash, The Stranglers, Siouxsie and The Banshees, dan lain-lain berubah dari band garage yang bermain di klub-klub kecil menjadi band rock star. Lalu sebuah slogan pun tersebar luas dikalangan punk saat itu: PUNK IS DEAD.
Menjadi punk saat itu lebih kepada menjadi groupies band-band seperti The clash daripada benar-benar melakukan pemberontakan kepada masyarakat apalagi pemerintah yang berkuasa. Hal yang lebih buruk adalah entah siapa yang memulai nama Punk kini telah berganti menjadi New wave. Sniffin Glue sebuah fanzine terkemuka di scene punk saat itu mencetak isu terakhirnya dan Jhonny Rotten mengumumkan pembubaran Sex Pistols pada sebuah gigs di San Fransisco…, membuat punk semakin terseok seok memasuki akhir dekade_70-an.
                Namun Punk sebenarnya tidaklah seburuk itu, lebih dari itu punk sebenarnya belumlah benar-benar mati, ya… Punk Not Dead..!!! Beberapa band tetap memainkan punk dan secara pelan tapi pasti membangun sebuah pergerakan baru yang kelak memberi warna baru dan angin segar di scene punk yang saat itu sudah sekarat. Band-band tersebut adalah Sham 69 dari Hersham, Cock Sparrer, Angelic Upstart, Cockney Reject dan Menace dari London , Slaughter and The Dogs dari Manchester dan Skrewdriver dari Blackpool. Jika punk adalah bentuk paling lugas, kasar, lantang, dan jujur dari musik rock n’ roll maka musik yang dimainkan oleh band-band tersebut adalah bentuk yang paling lugas, kasar, lantang dan jujur dari musik Punk yang ada saat itu, benar-benar Rougher than Rough. tak ada lirik utopis tentang anarkisme dalam musik mereka, lirik band-band ini lebih pada kehidupan nyata yang mereka alami dijalanan, teras sepak bola, dan kehidupan mereka sebagai anak kelas pekerja yang keras…Bagi mereka semua adalah tentang jalanan. Ya, sebuah pemberontakan yang benar-benar langsung dari jalanan, tanpa basa basi dan imitasi seperti SexPistols cs.
Lalu sebuah namapun di berikan bagi mereka: “Street Punk”. Coba saja dengar lagu-lagunya Cock Sparrer seperti argy bargy, where all they now, working, riot squad, running riot, the sun says dan segudang lagu-lagu mereka yang dinobatkan sebagai lagu kebangsaan kaum jalanan sepanjang masa, maka siapapun mau tak mau harus setuju bahwa steet punk benar-benar berasal dan berakar di jalanan. Cock Sparrer sendiri kelak dinobatkan sebagai The God Father of Street punk, band ini mungkin adalah band jalanan terbaik yang pernah ada. Steve burgess, Michael Beufoy, Colin McFaul dan Steve Bruce sebenarnya telah membentuk band ini sejak tahun1974 dan telah melakukan tour setahun penuh sebelum para personil Sex Pistols di temukan oleh Malcolm McLaren. Mereka adalah band punk, bahkan sebelum musik yang mereka mainkan bernama punk. Ironisnya, ketika punk mewabah tak ada satupun label besar yang mau mengontrak mereka karena para produser menganggap musik Steve Burgess cs sangat pasaran dan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru, sehingga mereka tak pernah merekam lagu-lagunya sampai tahun 1977.
Namun siapapun yang pernah datang dan melihat pertunjukan live mereka pastilah tahu betapa berkualitasnya band ini, termasuk Malcolm McLaren yang pernah menawarkan diri untuk menjadi manager mereka namun ditolak mentah-mentah oleh Steve Burgess cs karena mereka tahu seperti apa Malcolm, terlebih mereka tak mau berakhir sebagai band imitasi seperti Sex pistols. Untungnya setelah mereka menjadi band pembuka The Small Faces dan Motorhead, Decca record tertarik untuk merilis single mereka Running riot. Band-band seperti Cock Sparrer dan Menace memang terpaksa menghabiskan masa-masa awal karir mereka sebagai band pembuka dan pendukung band-band besar seperti Motorhead. Pada awalnya memang tak ada yang melirik band-band streetpunk, mungkin kejujuran dan kekasaran mereka terlalu menakutkan bagi dunia rock mainstream yang munafik.
                Kemunculan streetpunk juga menjadi pemicu kembalinya para anak kelas pekerja berkepala botak dengan Boots dan Bracesnya ke jalan-jalan di Inggris…Ya, the bad boys called skinhead is back…!! Namun kemunculan skinhead kali ini sangat sedikit hubungannya dengan skinhead orisinil angkatan 69. kebanyakan skinhead saat itu memulai ke-skinhead-annya sebagai “Punk botak/ Balds punk” yang sebenarnya adalah usaha menjauhkan diri mereka sebagai anak kelas pekerja dari anak-anak punk kelas menengah, sekali lagi terbukti bahwa pada akhirnya hidup ini selalu tentang kelas dan strata sosial.
Namun saat itu tetap ada skinhead yang percaya dan menjalankan nilai-nilai tradisional budayanya. Namun bagi sebagian besar skinhead saat itu tidak ada lagi semangat 69 dan cara berpakaian rapih, necis dan elegan seperti skinhead orisinil di tahun 69 dulu. Ya, walaupun “lahir kembali” budaya skinhead secara umum masih terjebak dalam identitas budaya lain. Potongan rambut masih botak seperti skinhead ditahun 69 dulu, namun kini potongannya samakin pendek bahkan tanpa rambut sama sekali, boots juga masih dipakai dan menjadi identitas utama seperti dulu. Namun kini biasanya seluruh larsnya ditunjukan, dengan cara memotong atau menggulung jeans di atas mata kaki, tapi lebih tinggi, biasanya setengah betis sehingga ujung celana menyentuh ujung boots. Selain itu boots yang popular kini bukan lagi yang 8 holes atau 10 holes, tapi 12, 14 bahkan 22 holes.
Budaya tattoo yang memang sudah ada sejak era 69 dulu kini menjadi semakin populer, dan kini bukan lagi di tangan seperti dulu, tapi di wajah. Tak sedikit skinhead yang mempunyai tato “made in england” di jidatnya, hal yang mungkin akan disesali mereka suatu saat. Tato sebenarnya memang sebuah pilihan pribadi bagi seorang skinhead, bukan sebuah kewajiban, tato yang tepat gambar dan penempatannya mungkin akan terlihat bagus dan smart tapi sebaliknya akan terlihat jelek dan tidak smart jika gambar dan penempatannya salah. Segelintir skinhead orisinil yang selamat dari masa glam dan disco merasa tak ada hubungannya dengan para skinhead gelombang baru ini.
Di tahun1977 ketika sering terjadi perkelahian antara para Teds dan Punks di Kings road, para skinhead orisinil biasanya membantu para teds sementara skinhead generasi baru biasanya membantu para punks. Para skinhead orisinil bahkan pertamanya tak tertarik dengan streetpunk, buat mereka punk adalah bentuk baru dari rock n’ roll nya para hippies di tahun 60an dulu, namun setelah mereka menyadari ternyata semangat jalanan streetpunk sama dengan semangat yang mereka miliki akhirnya mereka mengadopsi streetpunk sebagai bagian baru dari budaya mereka.
                Seiring semakin diterimanya Punk di dunia mainstream, skinhead generasi baru semakin menjauhkan dirinya dari punk dan akhirnya menemukan kembali identitasnya. Kini mereka mengklaim diri mereka sebagai skinhead seutuhnya. Cara berpakaian orisinil para skinhead di tahun 69 yang rapih, necis dan sebenarnya tak pernah hilang kini kembali lagi dan menjadi populer di kalangan skinhead generasi baru ini. Crombies, sta-press, Ben sherman, dan sepatu brogues kini di pakai lagi, dan dikombinasikan dengan bleach jeans dan Boots 10 atau 12 holes, potongan rambut kini kembali agak di perpanjang dan tak lagi botak plontos seperti sebelumnya, Gaya tahun 1969 dengan aksen tahun1977, bahkan skinhead reggae pun kembali populer dan biasanya di putar oleh para DJ diantara gigs band-band streetpunk.
Memasuki tahun 1978, skinhead dan segelintir punk kelas pekerja yang kecewa dengan keadaan scene punk saat itu semakin mengidentifikasikan dirinya dengan band-band seperti Cock sparrer dan Sham 69. Pergerakan streetpunk bahkan semakin diramaikan oleh sebuah subkultur baru yaitu: Herbert, anak jalanan yang tertarik dengan streetpunk namun tidak mengklaim identitas dirinya sebagai skinhead ataupun Punk. Kebanyakan dari mereka adalah preman jalanan. Lengkap sudah identitas streetpunk! dengan adanya skinhead, punks, dan herberts, streetpunk benar-benar adalah sebuah musik jalanan bagi anak jalanan. Namun sebenarnya tak ada satupun band streetpunk saat itu yang seluruh atau salah satu personilnya adalah skinhead, walaupun sering kali mereka manggung dengan memakai fred perry, ben sherman, stapress ataupun boots, hal itu juga berlaku bagi Sham 69. Padahal Jimmy Pursey sang vokalis adalah seorang skinhead sebelum membentuk Sham 69. Di antara band-band streetpunk saat itu mungkin hanya Skrewdriver yang lebih memilih memakai dandanan skinheadnya, terlepas dari kenyataan bahwa Ian Stuart cs dulunya adalah seorang punk.
                Sham 69 adalah band paling fenomenal di antara band-band street punk disaat itu. Jimmy cs adalah band street punk pertama yang mendapatkan kontrak dari label dan menarik perhatian pers musik rock Inggris yang sebelumnya tak menghiraukan mereka. Band ini didirikan dan dipimpin oleh seorang yang sangat kharismatik, cerdas, dan mempunyai kemampuan berbicara yang luar biasa…Jimmy Pursey. Di bentuk di Hersham pada tahun 1966, band ini mengambil namanya dari sebuah grafiti Hersham 69 yang kemudian disingkat menjadi Sham 69. Setelah setahun penuh menjadi band pembuka, Jimmy memecat semua anggota asli bandnya, hal yang sangat mudah dilakukan olehnya karena pada dasarnya Jimmy Pursey adalah Sham 69 itu sendiri. Ia kemudian merekrut Dave Parson (gitar), Mark Cain (drums), dan Dave Tregana (bass). Dengan personil yang hampir seluruhnya baru, band ini merilis debut singlenya “I dont wanna” di bawah label Small Wonder. Mungkin akan sangatlah sulit bagi siapapun yang membaca buku ini menemukan band yang setara reputasinya dengan Sham 69, layaknya hampir tidak mungkin menemukan orang sperti Jimmy Pursey di dalam sejarah musik Street punk (dan Oi! Di kemudian hari).                 Sham 69 adalah band pertama yang membuat para skinhead menemukan lagi harga diri, kebanggaan dan semangat jalanan yang sempat hilang beberapa waktu sebelumnya. Musik Sham 69 mungkin tak ada istimewanya jika di banding bandband Glam rock seperti Slade ataupun Mott and The Hopple, namun ketika berbicara tentang lirik…tentu adalah hal yang sangat berbeda. Coba saja dengarkan lirik lagu mereka seperti Borstal Breakout, Angels with dirty faces, atau If the kids are united, Semua kata-katanya tajam seperti pisau belati yang menghunjam ke dada siapapun yang mendengarkannya. Di bungkus dengan musik yang membakar semangat dan chorus ala yel yel di lapangan sepak bola membuat para skinhead mengikuti Jimmy cs layaknya ngengat mendekati api. Datang ke gigs Sham 69 seperti datang ke pertemuan keluarga, menjadi bagian dari Sham69 itu sendiri dalam pengertian apapun. Tak sedikitpun Jimmy cs menunjukkan sikap “kami adalah rockstar dan kalian adalah anak-anak yang memuja kami, sehingga kami lebih superior dari kalian”. Untuk pertama kalinya dalam sejarah musik rock orang-orang yang datang ke gig adalah sama derajatnya dengan band yang bermain di atas panggung. Dan untuk pertama kalinya juga ada sebuah band Street Punk yang mempunyai pengikut skinhead fanatis yang rela berkelahi melawan siapapun membela Jimmy cs. Dengan bangganya mereka menyatakan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari Sham 69 dengan memakai patches angka 69 di dada dan jaket jeans atau Harringtonnya, dan jika angka tersebut belum cukup mereka akan menambahkan tulisan Sham Army di punggungnya. Benar-benar sebuah fanatisme yang membuat siapapun berdecak kagum pada Jimmy cs.
Sing along adalah hal yang terlalu biasa terjadi di gig Sham 69, tak jarang suara Jimmy hilang di telan suara koor penontannya, bahkan lebih dari itu gig biasanya berakhir dengan stage invasion (penonton beramai ramai naik ke panggung untuk bernyanyi bersama band). Jimmy adalah orang yang sangat rendah hati dan ramah ketika berhadapan dengan fansnya, tak jarang pintu dressing room di buka sehingga siapapun bisa masuk dan berbincang bincang dengan Jimmy cs dan hal itu tetap di lakukannya bahkan ketika gig sudah berakhir 2 jam yang lalu. Jimmy memang sangat flamboyan dalam hal berdialog dan membangun hubungan emosional dengan fansnya terutama para skinhead, mungkin karena dia pernah menjadi seorang skinhead. Dia benar-benar percaya ia dan Sham 69 bisa merubah mereka, para fans skinheadnya yang saat itu mulai disusupi kekuatan politik sayap kanan. Semua itu di lakukannya hanya dengan membuka mulutnya dan keluarlah kata-kata secepat dan selugas senapan mesin. Ia bahkan tak pernah lulus SMA, namun siapapun yang pernah berbicara dengannya tahu bahwa senjata dan aset paling berharga Jimmy adalah mulutnya, namun pada saat bersamaan mulutnya itu jugalah masalah terbesarnya karena siapapun akan percaya pada apapun yang di katakan Jimmy bahkan ketika ia sengaja mengatakan omong kosong sekalipun. Ia mampu menyihir lawan bicaranya dengan argument-argument yang sangat masuk akal, kemampuan yang bahkan tak di miliki semua politikus di dunia ini. Saat ia berbicara hampir tak ada yang bisa menghentikannya, benar-benar orang yang cerdas dan berwibawa. Sayang, hal ini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri ketika ia berbicara tentang hal-hal seperti keberpihakan politik Sham 69 dan para pengikutnya. Jimmy mengatakan dengan tegas dan memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan bahwa tak pernah terjadi kekerasan di gig band-band street punk seperti Cock sparrer, Menace dan tentunya Sham 69, selain itu juga tak ada satu orangpun skinhead fasis pendukung National Front ataupun British Movement yang datang ke gigsnya.
Media dan publik percaya pada apa yang di katakan Jimmy, namun siapapun yang datang ke gigs Sham 69 saat itu tahu pasti bahwa Jimmy berbohong.
Kembalinya skinhead yang menjadi pendukung utama band-band street punk saat itu memang cukup menjadi perhatian media terutama yang hanya mencari sensasi demi menggenjot oplah koran dan tabloid mereka. Siapapun yang pernah hidup di akhir dekade 60-an tentu tak lupa dengan kejadian sensasional seperti Bank holiday di Hasting atau Brighton, yang membuat Skinhead dikenal reputasi kekerasannya. Anjing-anjing media itu mulai mengintai para skinhead, memperhatikan setiap gerak geriknya, bahkan datang ke gig band-band streetpunk yang pasti penuh sesak oleh para Skinhead, Punk, dan Herbert. Mereka tahu cepat atau lambat akan terjadi hal-hal yang sensasional, hal yang akan membuat foto seorang atau segerombolan skinhead sedang berkelahi atau di tangkap oleh polisi menghiasi halaman pertama koran-koran seperti The Suns ataupun Sunday mirror.

Salah satu bukti lagi bahwa media tak pernah dan tak akan pernah bersahabat dengan budaya skinhead. Lalu akhirnya hal yang di tunggu-tunggu itupun terjadi…gig Sham 69 berakhir dengan keributan besar di Redding Festival pada bulan Agustus 1978 antara sesama fans Sham 69 yang membuktikan bahwa apa yang pernah di katakan Jimmy adalah omong kosong.Yang di jadikan kambing hitam tentu saja para skinhead, padahal kerusuhan terjadi tak hanya pada gig Sham 69, tapi band-band yang hampir tidak mempunyai fans skinhead seperti UK Subs dan The Poison Girlspun mengalami hal yang sama. Jimmy Pursey berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan perkelahian yang terjadi, namun keadaan benar-benar sudah diluar kendali. Stage invasion kini sudah terlalu berlebihan, tak jarang setengah dari penonton naik ke panggung sehingga sering kali gig harus berhenti karena Jimmy cs tak mendapat tempat yang cukup untuk bermain. Selain itu gig Sham 69 kini telah berubah menjadi arena pertumpahan darah demi membela nama kota, klub sepak bola yang kau dukung, apa identitas budaya yang kau anut atau bahkan yang paling konyol namun rumit…keberpihakan Politik.
Cock sparrer dan Menace pun ternyata mengalami hal yang sama, namun layaknya Jimmy, mereka tidak percaya kalau skinhead adalah biang keributan di gig mereka seperti yang di katakan media. Mereka tahu dan paham betul tabiat kekerasan para skinhead, tapi mereka tak percaya kalau skinhead menghancurkan gig band yang sudah mereka beli karcis masuknya. Memang sering kali skinhead memancing keributan dan melakukan Punk bashing layaknya Mod bashing di tahun 60-an dulu, namun skalanya sangat kecil dan bisa di bilang tidaklah lengkap sebuah gig tanpa terjadinya hal itu.
Keberpihakan politik adalah hal lain yang menjadi penyebab kerusuhan di gig Sham 69. Kebanyakan skinhead yang menjadi fans Sham 69 saat itu adalah pendukung NF dan BM, dua organisasi sayap kanan yang menjadikan skinhead sebagai target utama perekrutan mereka. Semua orang tahu kalau Sham 69 tak tertarik dengan politik dan segala tetek bengek yang melingkupinya, dan jelas sekali kalau Jimmy tak pernah sekalipun mengeluarkan pernyataan yang mendukung NF atau BM. Namun Jimmy cs juga tak mau memalingkan muka dari para Sham Army yang telah mendukung mereka dengan setia apalagi melarang mereka datang ke gig Sham 69. Jimmy lebih tertarik untuk beradu argumen dengan para pendukung NF dan BM yang datang ke gigsnya, namun hal itu adalah hal paling sia-sia yang pernah dilakukan olehnya. Keadaan diperkeruh oleh tekanan dari Media dan organisasi sayap kiri seperti Anti Nazi League yang menginginkan Sham 69 dan band-band street punk lainnya bermain di gig Rock Against Racism yang mereka koordinir sebagai pembuktian pada publik bahwa mereka bukanlah pendukung NF ataupun BM. Tujuan ANL memang tampak bagus di permukaan, namun di baliknya tidak sama sekali. Band-band streetpunk yang menolak untuk bermain di RAR akan di boikot habis-habisan oleh ANL dan jaringan sayap kiri yang menguasai media musik rock, radio dan perusahaan rekaman.
Ini membuat kita bertanya-tanya siapa sebenarnya yang fasis. Sham 69 yang pertamanya menolak ajakan ANL akhirnya bersedia main di RAR, bukan karena takut tapi ia berusaha menghentikan masalah dan tekanan dari publik dan media. Sham 69 bermain di beberapa gig RAR, bahkan Jimmy sendiri tampil bersama The Clash di ANL carnival di Hackney. Jimmy sadar bahwa ia dan Sham 69 tak dapat merubah dunia, karena ia bukanlah politikus atau seorang pemimpin, tapi ia precaya kalau ia bisa merubah para fansnya, setidaknya sebagian dari mereka. Keputusan Sham untuk bermain di gig RAR ternyata adalah sebuah keputusan yang salah karena Sham tak hanya di peralat oleh organisasi kiri itu untuk mencapai tujuan mereka, namun juga karena tanpa mereka sadari mereka kini telah di cap sebagai komunis. Padahal jelas-jelas Sham tak pernah peduli dengan keberpihakan politik. Akibat dari di capnya sebagai band komunis adalah semakin menggilanya aktifitas sayap kanan di gig mereka, terutama jika mereka manggung di seputaran London yang mempunyai pendukung NF dan BM paling banyak, hal ini tentu saja mendapat respon yang keras dari para skinhead Anti Fasis. Yang paling menyedihkan pelaku utama dari semua aktifitas sayap kanan di gig Sham adalah para skinhead yang di peralat oleh partai politik untuk melakukan pertarungan politik yang seharusnya terjadi di pemilihan umum, bukan di sebuah gig. Oleh para fansnya yang merupakan pendukung NF atau BM Sham kini di anggap telah berkhianat pada mereka, dan Jimmy adalah orang yang mereka persalahkan. Semakin meningkatnya aktifitas sayap kanan di gig Sham membuat hampir seluruh gig mereka berakhir dengan kerusuhan, bahkan bisa di bilang tak ada tempat di Inggris yang aman buat gig mereka karena di mana ada Sham 69 di situ ada perkelahian antara skinhead sayap kanan dan Anti Fasis. Akibatnya tak ada promotor di Inggris yang kini berani membuatkan gig untuk Jimmy cs. Satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk manggung adalah di luar Inggris dan Jimmy tak mau melakukannya. Hal itu berarti tak ada gig untuk Sham, dan apalah artinya sebuah band tanpa gig? Jadi akhirnya Jimmy cs memutuskan untuk membubarkan band mereka. Mereka lalu menkoordinir gig selamat tinggalnya Sham 69, gig ini di adakan di Glasgow, London dan Finland. Gig yang diadakan di Glasgow dan Finland berakhir dengan baik-baik saja, namun gig di London yang di adakan di Rainbow Theatre berakhir dengan kerusuhan besar. Kerusuhan di mulai dengan stage invasion yang membuat panggung di penuhi oleh tak kurang dari 200 orang skinhead. Entah siapa yang memulai tiba-tiba saja Rainbow Theatre gegap gempita oleh teriakan Sieg heil yang di ikuti dengan salam khas Nazi. Perkelahianpun segera terjadi, dan emosi Jimmy yang telah sekian lama di tahannya akhirnya meledak, ia mengamuk sejadi-jadinya dan berteriak di microphone: “Aku mencintai kalian, aku melakukan semua hal untuk kalian, tapi yang kalian lakukan hanyalah berkelahi..!!!”
Namun perkelahian tak berhenti sampai akhirnya Jimmy di tusuk punggungnya oleh seorang skinhead yang masih dengan bangganya memakai badge Sham army di jaketnya. Akhir yang cukup tragis bagi band seperti Sham 69.
Kebencian NF dan BM kepada Sham 69 ternyata tidak berhenti sampai di situ, bahkan setelah Sham bubar pun mereka masih tetap menunjukkannya dengan menyebarkan isu bahwa Jimmy kini sudah menjadi seorang kelas menengah yang kaya raya, dan Sham 69 telah sell out seperti band-band Punk 77 yang di kecamnya. Rumor mengatakan bahwa Jimmy membeli rumah elit lengkap dengan kolam renang di dalamnya seharga 130 ribu poundsterling. Tentu saja hal ini adalah bohong adanya. Namun jika benar sekalipun apa salahnya? Jika Jimmy dan Sham 69 menjadi kaya karena penjualan album dan gig mereka, jelas saja mereka pantas mendapatkannya karena mereka telah bekerja keras untuk itu. Pada kenyataannya kesuksesan tidak membuat Jimmy lupa pada asalnya, sebagian uang yang di dapatnya ia pergunakan untuk membantu kemajuan band-band streetpunk lain untuk memulai karirnya. Di antara sekian banyak band yang ia bantu di antaranya adalah Angelic Upstart dan Cockney Reject, dua band streetpunk yang kemudian tak kalah legendarisnya di dunia skinhead dengan Sham69. Angelic Upstart dibentuk pada musim panas tahun 1977, namun kehilangan hampir seluruh personilnya pada gig pertama mereka, namun sang vokalis Mensi Merauders berhasil membentuk kembali Angelic Upstart. Debut single mereka murder of liddle towers dirilis oleh Dead records dan kemudian di rilis ulang oleh Small wonder. Band ini telah menunjukkan ke-antian mereka terhadap polisi dan pandangan politik mereka sebagai band penganut sosialisme.
Murder of Liddle towers yang menceritakan tentang terbunuhnya seorang pelatih tinju oleh polisi tanpa proses peradilan menjadi anthem perlawanan kaum jalanan terhadap tindakan sewenang wenang polisi. Angelic Upstart lalu menjadi sangat diwaspadai oleh polisi yang selalu muncul di gig mereka mengawasi setiap tindakan Mensi cs. Hal ini membuat mereka di boikot di beberapa tempat. Jimmy Pursey kemudian menawarkan Mensi cs untuk di rilis di bawah label yang sedang di bangunnya yang bernama Wedge yang bekerja sama dengan Polydor. Angelic Upstart menerima ajakan Jimmy, namun kerja sama mereka tak berhasil dengan baik, dan akhirnya Mensi menanda tangani kontrak dengan Warner_Bros.
                Layaknya Sham 69, Angelic Upstartpun terjebak dalam perseteruan politik sayap kanan dan sayap kiri, hal tersebut karena kedekatan mereka dengan budaya skinhead yang mulai terpecah dua oleh pandangan politik. Walaupun Angelic Upstart adalah band Punk, namun image band ini sangatlah skinhead sekali, tak heran jika mereka selalu diasosiasikan dengan skinhead, dan diasosiasikan dengan skinhead di saat itu sama artinya dengan di cap sebagai band pendukung organisasi sayap kanan. Di tambah dengan lagu-lagu mereka seperti Spandau dan England membuat mereka semakin di cap sebagai band fasis. Jelas hal itu salah besar dan di bantah habis-habisan oleh Mensi cs. Ia mengatakan mereka adalah sosialis jalanan yang cinta pada negerinya. Seperti halnya Sham 69, Mensi cs jelas sangat menentang organisasi fasis seperti NF dan BM, namun mereka tak bisa melarang para skinhead pendukung sayap kanan datang ke gig mereka. Pertamanya mereka mencoba untuk melakukan pendekatan moral dan mengajak para skinhead sayap kanan itu berdialog, namun ternyata itu tidaklah cukup. Pihak sayap kanan mendesak agar Angelic Upstart memilih dan menyatakan keberpihakan politiknya, dan Mensi cs pun terpaksa memilih untuk bermain di gig RAR daripada di cap sebagai band fasis, satu lagi band streetpunk menderita karena perseteruan politik.
Lalu nasib Angelic Upstartpun seakan sama dengan Sham 69, band ini di tekan oleh pihak-pihak yang hanya ingin memanfaatkan Mensi cs demi tujuan-tujuan politisnya. Kerusuhan terjadi di hampir semua gig mereka dan tak jarang terjadi penyerangan terhadap mereka oleh pendukung sayap kanan, skinhead ataupun bukan, hal ini jelas membuat mereka frustasi. Angelic Upstart di cap sebagai band komunis, saat itu memang ada sebuah peraturan tak tertulis yaitu jika kau bukanlah Nazi, maka kau pastilah seorang Komunis. Benar-benar tidak masuk akal karena sebenarnya tak semua orang peduli dengan pandangan politik kanan ataupun kiri. Pengalaman buruk berupa tekanan-tekanan dari organisasi sayap kanan ini membuat mereka kemudian sangat gencar melakukan kampanye dan aksi-aksi perlawanan terhadap fasisme dan menyuarakan pandangan-pandangan sosialisme mereka sebagai balasan terhadap NF dan BM. Sedikit demi sedikit Angelic Upstart benar-benar menjadi Band sayap kiri.
                Band berikutnya yang dibantu oleh Jimmy Pursey adalah Cockney Reject yang di gawangi oleh dua orang kakak beradik yaitu Micky Geggus dan Geof Geggus yang lebih di kenal dengan nama Stinky Turner. Geggus bersaudara ini merupakan petinju amatir yang di satukan dengan dua orang lainnya sebagai sebuah band oleh Vince Riordan mantan roadie Sham 69. Kerja sama mereka dengan Jimmy pursey dimulai dengan pertemuan Geggus bersaudara dengan seorang wartawan majalah musik Sounds bernama Garry Bushell di sebuah pub. Micky kemudian memberikan demo tape mereka, Garry yang tertarik dengan musik mereka lalu memberikan demo itu pada Jimmy dan mengenalkan para opersonil Cockney Reject padanya. Jimmy lalu setuju untuk memproduseri debut single mereka yang berjudul Flares and Slippres yang di rilis di bawah label Small wonders. Hidup mereka yang keras sebagai anak kelas pekerja yang hidup di kawasan ghetto East End di utara London di tambah dengan latar belakang mereka sebagai petinju sedikit banyak mempenagruhi tingkah laku dan music mereka. Mereka menyebut musik mereka dengan sebutan Ruck N’ Roll (we Ruck and you roll), musik mereka yang lebih kasar namun melodius dengan lirik-lirik berbau Tough guy sangat menarik perhatian ex-fansnya Sham 69 dan menace, baik Punk maupun skinhead. Namun tingkah laku jagoan mereka membuat banyak skinhead yang membenci mereka, tapi tak sedikit pula yang menjadi pengikut setia Stinky Turner cs, terutama yang menghabiskan waktunya untuk duduk di teras sepak bola mendukung West ham.
Layaknya gig band-band streetpunk lainnya kadang di gig Cockney Reject terjadi perkelahian, namun Stinky Turner cs dan para pengikut fanatiknya selalu berhasil menghentikannya, ini membuat mereka sangat di hormati di antara band-band streetpunk saat itu. Media pernah mencoba mengasosiasikan Cockney Reject dan keributan yang terjadi di gig mereka dengan BM, namun tidak berhasil karena keributan di gig mereka punya penyebab tersendiri yaitu hooliganisme sepak bola. Keempat personil Cockney Reject adalah hooligan Westham dan selalu memastikan semua orang tahu klub sepak bola apa yang mereka dukung. Di setiap penampilan mereka, panggung selalu di latar belakangi oleh bendera Union Jack dan Bendera West ham, mereka bahkan merilis cover version dari lagu kebangsaan para Hammers (sebutan bagi pendukung fanatik Westham) yang berjudul I’m Forever Blowing Bubbles sebagai perayaan mereka atas masuknya Westham ke final pala FA. I’m Forever Blowing Bubbles kemudian di susul dengan anthem-anthem sepak bola mereka berikutnya seperti We are The Firm dan War On The Terraces, yang dengan sangat berani mereka rilis di saat keributan di gig karena hooliganisme sepak bola sudah keterlaluan.                 Kebanggan mereka terhadap tim sepak bola kesayangan mereka Westham inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Kira-kira sebulan setelah di rilisnya I’m Forever Blowing Bubbles terjadi keributan besar antara Cockney Reject dan pengikut fanatiknya yang tentu saja Hooligan Westham seperti mereka dengan 200 skinhead pendukung Millwall tim sepak bola yang gank hooligan (firm) nya merupakan musuh bebuyutan Westham Bootboys di Cedar club. Keributan berakhir dengan Micky dilarikan ke Rumah Sakit dan mendapatkan Sembilan jahitan di kepalanya, mobil van mereka di rusak. Bukan itu saja, Micky kemudian di hukum masa percobaan selama enam bulan dan didenda 500 pound. Setelah kejadian itu mereka berusaha menghilangkan image kekerasan pada band mereka, namun tidak berhasil, tour mereka di musim gugur 1980 mengalami keributan yang serius di gig-gig awalnya. Asosiasi mereka dengan Westham membuat mereka mustahil melakukan gig di luar East End London tanpa mengalami penyerangan dari musuh-musuh mereka, dan tak satupun pihak yang dapat mereka salahkan selain diri mereka sendiri.      Mungkin ini salah satu penyebab mereka kemudian beralih menjadi band heavy metal. Namun apapun yang terjadi pada mereka, band-band streetpunk seperti Cockney Reject, Sham 69, Cock Sparrer, dan Angelic Upstart, mereka telah menyalakan semangat baru di dunia skinhead, mereka memberi para skinhead identitas lama mereka yang sempat memudar.. Yaitu semagat jalanan. Walaupun selalu dijadikan kambing hitam media, terjebak dalam perseteruan politik kanan-kiri, dan segudang masalah lainnya, Streetpunk tak akan pernah mati selama masih ada anak-anak muda kelas pekerja yang ingin menyuarakan realita kehidupan jalanan mereka yang keras. Street punk telah membidani lahir kembalinya budaya skinhead dengan segala aspek pemberontakannya, dan kini adalah waktunya bagi mereka meneruskan pergerakan musik ini dengan sesuatu yang lebih mengancam dan itu adalah musik Oi!.. Musik jalanan yang menyuarakan suara jalanan dan dimainkan oleh kaum jalanan dengan Boot dan Bracesnya yang dalam perjalanannya sempat menggetarkan Inggris dan kini mendunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar